Saksi Sebut Surat Keterangan Kekurangan Penyerahan Emas 1,1 Ton Kepada Crazy Rich Budi Said Ilegal

Wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan melaporkan

Tribannews.com, Jakarta – Mantan Vice President Pemasaran Penjualan Logam Mulia PT Antam TBK, Yosep Purnama mengungkapkan, sertifikat tidak diserahkannya 1.136 kg atau 1,1 ton emas kepada Crazy Rich Surabaya Budi Said adalah ilegal.

Menurut Yosep, surat keterangan kekurangan penyerahan emas itu ditandatangani Endang Kumoro, Kepala Butik BELM Surabaya 01, dan dia tidak berwenang melakukannya.

Ia memberikan kesaksian pada Selasa (3/9/2024) di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dalam sidang lanjutan kasus jual beli emas PT Antam TBK dengan terdakwa Budi Seid.

Fakta tersebut terungkap saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) menunjukkan kepada Yusuf surat keterangan yang diterbitkan dan ditandatangani pada 6 November 2018 dan 16 November 2018.

Pertanyaannya, apakah Endang Kumoro selaku ketua kelompok berhak dan berwenang mengeluarkan surat tersebut? tanya jaksa.

“Tidak ada ketentuan yang membolehkan seorang kepala batik mengeluarkan surat seperti itu,” jawab Yosef di persidangan.

Sebab, menurut Yosef, hanya pejabat setingkat komisaris, direktur, dan manajer umum yang berhak menerbitkan dan menandatangani pernyataan tersebut.

Ini diatur oleh aturan internal perusahaan, katanya.

Kalaupun diberikan nomornya, itu bukan pejabat yang berwenang karena dalam pedoman kode etik PT Antam yang berwenang adalah satu komisaris, dua direktur, tiga kepala proyek atau GM, jelasnya.

Jadi Endung dilepas karena perbuatan melawan hukum.

Hal itu ditegaskan Yosef saat jaksa menanyakan status sertifikat yang diterima Budi Said.

“Maksudnya apa, status sertifikatnya apa?” tanya jaksa.

“Ilegal,” kata Yusuf. Negara diduga merugi Rp 1,1 triliun

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung sebelumnya mendakwa Budi Said, Crazy Rich Surabaya melakukan korupsi pembelian emas lebih dari 7 ton PT Antum.

Sejak Maret 2018 hingga Juni 2022, Budi Said melakukan pembelian emas dalam jumlah besar di Butik Emas Logam Mulia (BELM) Surabaya 01 PT Antam.

Menurut jaksa, pembelian emas tersebut dimediasi oleh Budi Said yang bekerja sama dengan Ketua BELM Surabaya 01 Antum Endang Kumoro, Senior Officer Bisnis Umum Produk dan Jasa Ahmad, Exi Anggrani, dan beberapa karyawan PT Antum. Purwanto, dan staf administrasi BELM Surabaya 01 Antam bernama Misdianto.

Setelah persekongkolan itu, disepakati pembelian di bawah harga resmi, tidak sesuai prosedur Antam.

Total, Budi membeli emas di dua sisi.

Pertama beli emas 100kg ke BELM Surabaya 01.

Namun BELM Surabaya saat itu belum memiliki stok tersebut dan meminta bantuan stok ke Unit Usaha Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPPLM) Pulo Gadung PT Antam.

Harga yang dibayar Budi Said untuk 100 kg emas adalah Rp25.251.979.000 (lebih dari dua puluh lima miliar).

Sebenarnya harga tersebut seharusnya berlaku untuk 41.865 kg emas.

Kemudian pembelian kedua, BELM membeli emas budi sade sebanyak 7.071 ton dari Surabaya 01 Antam.

Saat itu mereka membayar Rp3.593.672.055.000 (lebih dari tiga triliun) untuk 7.071 kg atau lebih dari 7 ton emas Antum. Namun mereka hanya mendapat 5.935 kg.

Budi Syed kemudian memprotes kekurangan 1.136 kg atau 1,13 ton emas yang diterimanya.

Saat Antum membeli emas lebih dari 7 ton, terjadi perbedaan persepsi harga antara Budi Syed dan Antum.

Saat itu, Budi Said mengaku BELM telah sepakat dengan Surabaya dengan harga Rp505.000.000 (lima ratus juta di atas) per kilogram emas.

Harga tersebut berada di bawah norma yang ditetapkan Antum.

Berdasarkan perhitungan harga standar Antam, Rp 3,5 triliun yang dibayarkan Budi Said pasti menggunakan lebih dari 5,9 ton emas.

Akibat ulahnya, negara disebut merugi hingga Rp 1,1 triliun melalui PT Antam.

Sejak pembelian pertama, perbuatan Budi Said dengan broker dan BELM Surabaya disebut merugikan negara sebesar Rp 92.257.257.820 (lebih dari sembilan puluh dua miliar).

Pasca pembelian kedua, negara diduga merugi sebesar Rp1.073.786.839.584 (lebih dari satu triliun).

Sehingga, dalam kasus ini, Budi Syed dijerat dengan Pasal 18, Pasal 2(1) Subbab 3 UU Pencegahan Tipikor, dan Pasal 55(1) hingga Pasal 64 KUHP. (1) KUHP.

Selain itu, ia diduga menyembunyikan hasil kejahatannya dan dijerat dengan Pasal 3 lampiran Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). .

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *