Jurnalis TribuneNews Ibriza Fasti Ifami melaporkan
TRIBUNNEWS.COM, Jakarta – Saksi Partai Buruh, Jajuli, mengatakan UU Cipta Kerja dan turunannya telah banyak melahirkan pekerja kontrak yang masa kerjanya sangat singkat dan berulang sejak puluhan kali hingga bertahun-tahun.
Hal itu diungkapkan Jajuli, tokoh buruh di Jawa Timur, pada sidang lanjutan perkara yang terdaftar dengan nomor perkara 168/PUU-XXI/2023 pada Rabu (17/7/2021) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta. 2024).
Terkait kasus tersebut, Jazuly juga mengatakan sistem kontrak berkala yang terdapat dalam Undang-Undang 6 Tahun 2023 (UU Cipta Kerja) berbeda dengan sistem yang diputuskan Mahkamah Konstitusi dalam hal jangka waktu dan jenis pekerjaan.
Padahal, kata dia, pegawai kontrak bisa diberhentikan sewaktu-waktu.
“Dan anehnya dalam undang-undang ini pekerja kontrak bisa sewaktu-waktu dipecat, padahal kontraknya punya jangka waktu, katakanlah 4 tahun, bahkan setelah 3 tahun tetap bisa diputus dengan alasan “. Ini juga diatur dalam UU Cipta Kerja dan undang-undang turunannya,” kata saksi Partai Buruh itu.
Tak hanya itu, ia juga mengatakan dengan sistem kontrak ini, banyak pekerja yang bekerja dalam kondisi seperti itu terpaksa menerima upah lebih murah.
“Buruh terpaksa menghadapi kondisi seperti itu dengan upah yang murah,” kata Jajuli. Faktanya, banyak upah kontraktual yang lebih rendah dari upah minimum.”
Dalam kesempatan yang sama, pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mokhtar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai ketimpangan politik-hukum antara negara, pengusaha, dan pekerja terlihat jelas dalam konstruksi undang-undang tersebut. UU CIPTEKAR).
Hal itu diungkapkan Zainal saat dihadirkan sebagai ahli dalam sidang lanjutan Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023, tentang Judicial Review (JR) UU Nomor 6 Tahun 2023. Permintaan tersebut dilontarkan Partai Buruh. . Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja malah menjadi undang-undang, bukan mengeluarkan peraturan pemerintah.
Zainal awalnya menegaskan, hakekat UU SIPTEKAR dapat dikatakan muncul tanpa adanya partisipasi yang signifikan dan bermakna.
Zainal yang hadir dalam sidang daring di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (17/7), mengatakan, “Jadi tidak heran kalau (UU Siptaker) banyak aturannya yang aneh-aneh.” 2024).
Ia kemudian juga menyinggung rumusan UU Sipakar yang didukung Perappu Nomor 2 Tahun 2022. Menurutnya, pemerintah dan DPR perlu diingatkan bahwa pembuatan undang-undang harus melalui partisipasi masyarakat yang bermakna, namun jika ditangani tanpa makna partisipasi yang berarti, akhirnya menimbulkan ketentuan yang problematis.
Lebih lanjut, tambahnya, dalam penyusunan UU Cipta Kerja, pemerintah dan DPR harus mempertimbangkan aspirasi buruh. Terutama dalam hal taraf hidup layak.
Katanya: “Jelas politik hukum tidak seimbang antara negara, pengusaha, dan pekerja. Dan negara terkesan lebih dekat dengan pengusaha.”
Ia berkata: “Ada kenyataan berbahaya bahwa pejabat terlalu dekat dengan pengusaha atau pejabat sering menggabungkan pekerjaan dengan pengusaha. Oleh karena itu, konflik kepentingan mudah sekali muncul. Dan pada akhirnya mereka mungkin tidak mampu mengembangkan undang-undang yang sesuai.”
Lebih lanjut, ia menegaskan kepada sembilan hakim konstitusi yang hadir dalam persidangan bahwa semakin banyak UU SIPTaker dipelajari, maka semakin banyak pula bermunculan praktik-praktik pengelolaan yang aneh dan tidak boleh dibiarkan dalam batas logika yang wajar.