TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Otoritas Pengawas Keuangan (OJK) menilai risiko yang dihadapi lembaga perbankan nasional akibat penguatan dolar Amerika Serikat dan akhir-akhir ini masih bisa ditekan secara signifikan.
Berdasarkan hasil stress test yang dilakukan OJK, pelemahan nilai tukar rupiah saat ini tidak terlalu berdampak terhadap permodalan perbankan, mengingat posisi devisa neto (PDN) perbankan Indonesia masih berada di bawah ambang batas. . . Dan secara umum posisi PDN adalah “long” (aset valas lebih besar dibandingkan kewajiban valas).
Simpanan bank diyakini memiliki beban yang tinggi (CAR tinggi) dan diyakini akan terpengaruh oleh fluktuasi nilai tukar rupee dan suku bunga yang masih tinggi.
Porsi dana lain-lain (DPK) dalam bentuk valas saat ini sekitar 15% dari total DPK bank. Hingga akhir Maret 2024, DPK valas masih tumbuh secara year-on-year (yoy) dan lebih tinggi dibandingkan awal tahun 2024 (ytd).
Pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini juga dapat memberikan dampak positif terhadap ekspor barang dan bahan baku sehingga akan mendorong dan mendorong pengiriman uang dari luar negeri sehingga mendorong pekerja lokal untuk meningkatkan penggunaan bahan lokal dalam proses produksinya.
OJK melakukan stress test terhadap perbankan secara berkala dengan menggunakan berbagai variabel ekonomi dan mempertimbangkan faktor-faktor risiko utama seperti risiko kredit dan risiko pasar.
OJK senantiasa mengevaluasi langkah-langkah terbaik untuk memastikan bahwa berbagai risiko akibat rendahnya nilai tukar dan tingginya suku bunga dapat diminimalisir pada setiap bank.
OJK juga meminta perbankan menganalisis dampak perkembangan ekonomi global di kawasan terhadap situasi perbankan dan mengambil langkah mitigasi yang diperlukan. Kolaborasi dan keterlibatan berkelanjutan dengan anggota KSSK untuk menghasilkan kebijakan yang efektif dan tepat waktu.
Direktur Utama Bank OJK Diane Adiana Ray mengimbau masyarakat tetap tenang menghadapi guncangan geopolitik global yang masih berlangsung.
“Ketenangan dan akal sehat serta koordinasi antar otoritas terkait menjadi kunci untuk mencegah krisis ekonomi global yang terjadi saat ini,” kata Diane.
Menurutnya, selama ini dolar AS terlihat menguat terhadap seluruh mata uang dunia, hal ini tercermin dari indeks dolar yang mencatatkan tren kenaikan sejak akhir Maret 2024. Ada banyak faktor yang mempengaruhi penguatan tersebut. dari dolar AS. Kebijakan suku bunga jangka panjang yang masih berlaku membuat perekonomian AS kuat, namun pada saat yang sama inflasi AS masih jauh dari target 2 persen.
Hal ini didukung dengan pernyataan The Fed yang menyatakan tidak akan terburu-buru menurunkan suku bunga dan akan terus memantau perkembangan data perekonomian ke depan.
Sementara itu, meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah setelah konflik antara Israel dan Iran telah menimbulkan kekhawatiran akan perang yang lebih luas dan dapat membebani perekonomian global, terutama dengan meningkatkan biaya energi dan aksesibilitas serta pertumbuhan yang pesat. Jalur dan gangguan jalur perdagangan utama akibat konflik Timur Tengah dan Rusia-Ukraina.
Meningkatnya ketegangan geopolitik dan ketidakpastian global telah meningkatkan kekuatan dolar AS, salah satu aset safe haven yang selalu dicari para pedagang.
Di sisi lain, situasi perekonomian dalam negeri juga dipengaruhi oleh situasi geopolitik eksternal yang terlihat dari data inflasi Indonesia bulan Maret 2024 yang tercatat mengalami kenaikan sebesar 0,52 persen (mtm) atau 3,05 persen (yoy) atau 2,75 persen (yoy). ). pada bulan Februari 2024, meskipun masih dalam rentang target.
Rupiah ditutup di Rp 16.260 Nilai tukar rupiah ditutup pada Rp 16.260 per dolar AS sebesar 0,49 persen di akhir pasar spot Jumat (19/4/2024).
Nilai tukar rupee tiba-tiba anjlok setelah Israel menyerang wilayah Iran sehingga memperparah perang Timur Tengah.
Indeks dolar AS menguat hingga 1904,24 pada perdagangan hari ini.