Dilansir reporter Tribunnews.com Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Nilai tukar rupiah di pasar spot kembali melemah hingga Rp 15.700 per dolar AS. Rupiah menguat selama dua hari berturut-turut sebelum akhirnya melemah pada perdagangan Kamis (15/8/2024).
Ekonom Ibrahim Assuaibi melihat melemahnya rupiah terkait dengan kekhawatiran investor mengenai kemungkinan serangan Iran terhadap Israel sebagai respons terhadap pembunuhan pemimpin kelompok Hamas Ismail Haniyeh bulan lalu.
Selain itu, melemahnya rupiah juga disebabkan oleh penurunan output pabrik Tiongkok pada bulan Juli, sedangkan penurunan output kilang pada bulan keempat.
“Hal ini menegaskan pemulihan ekonomi negara yang tidak merata sehingga turut membatasi kebangkitan pasar,” kata Ibrahim di Jakarta, Kamis (15/8/2024).
Namun, penjualan ritel Tiongkok tumbuh lebih besar dari perkiraan pada bulan Juli, menyebabkan sebagian besar investor mengabaikan hasil produksi industri dan investasi tetap yang lebih lemah dari perkiraan.
Sementara itu, tingkat pengangguran di Tiongkok juga secara tidak terduga meningkat menjadi 4,2 persen, kata Ibrahim.
Sedangkan dari faktor dalam negeri, utang luar negeri (ULN) Indonesia pada kuartal II-2024 sebesar $408,6 miliar. Utang valas ini meningkat sebesar 2,7 persen (year-on-year), melebihi pertumbuhan sebesar 0,2% (year-on-year) pada triwulan I tahun 2024. Peningkatan ini disebabkan oleh ULN sektor publik dan swasta. .
Sementara itu, ULN negara terus mengalami penurunan pertumbuhan. Utang luar negeri pemerintah berjumlah $191,0 miliar pada kuartal kedua tahun 2024, mencatat penurunan pertumbuhan sebesar 0,8% (tahun ke tahun), melanjutkan penurunan pada kuartal sebelumnya sebesar 0,9% (tahun ke tahun).
Hal ini dipengaruhi oleh penyesuaian penempatan dana investor asing pada obligasi negara (SBN) dengan masih tingginya tingkat ketidakpastian di pasar keuangan global.
Berdasarkan sektor perekonomian, ULN pemerintah terutama mencakup sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (20,9% dari total ULN pemerintah); Administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib (18,8%).
Kemudian jasa pendidikan (16,8%); konstruksi (13,6%); dan jasa keuangan dan asuransi (9,5%). ULN pemerintah tetap terkendali karena hampir seluruh ULN memiliki jatuh tempo jangka panjang dan porsinya mencapai 99,99% dari total ULN pemerintah.