Ribuan orang berdemonstrasi di Australia menuntut gencatan senjata di Gaza dan Lebanon
TRIBUNNEWS.COM – Ribuan orang berdemonstrasi di seluruh Australia menuntut gencatan senjata di Gaza dan Lebanon.
Ribuan orang berunjuk rasa di seluruh Australia pada hari Minggu menyerukan gencatan senjata “segera” dan diakhirinya konflik di Gaza dan Lebanon.
Australian Broadcasting Corporation mengatakan protes baru, yang terkuat dalam beberapa bulan, terjadi seminggu setelah serangan militer di Lebanon yang menewaskan pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah pada hari Jumat.
Unjuk rasa diselenggarakan sebagai bagian dari “Hari Nasional untuk Gaza” oleh kelompok pro-Palestina di banyak kota dan desa di seluruh negeri.
Pada hari Minggu, ribuan orang berkumpul di luar Balai Kota Sydney, mengibarkan bendera Lebanon dan Palestina serta meneriakkan slogan-slogan yang mendukung Wilayah Pendudukan Palestina dan Lebanon.
Beberapa orang membawa poster bergambar Nasrallah.
“Kami tidak yakin mengapa anak-anak kami, perempuan kami, laki-laki kami tidak penting, mengapa pemerintah tidak bersuara untuk mendukung kami dan menuntut agar Israel berhenti,” kata Nasser Mashni, presiden Jaringan Advokasi Palestina Australia. . .
Kelompok ini membantu mengoordinasikan protes di seluruh negeri.
Waktunya telah tiba untuk upaya diplomasi, tambahnya.
Meskipun sebagian besar pengunjuk rasa di seluruh Australia membawa bendera Lebanon dan Palestina dalam aksi protes tersebut, bendera Hizbullah juga terlihat pada aksi unjuk rasa tersebut, sehingga menuai kritik dari beberapa pihak.
Bendera kuning menandakan tangan hijau meraih senapan serbu.
Mengkritik tindakan tersebut, Menteri Dalam Negeri bayangan James Patterson mengatakan dalam sebuah postingan di X bahwa pihak berwenang harus menindak mereka yang mengibarkan bendera tersebut.
Pemerintah Australia, Amerika Serikat, Inggris Raya, dan Uni Eropa menganggap Hizbullah sebagai organisasi teroris, sama seperti Hamas.
Menampilkan simbol organisasi teroris terlarang di depan umum merupakan pelanggaran hukum pidana negara dan dapat dihukum hingga 12 bulan penjara.
Sumber: Monitor Timur Tengah