TRIBUNNEWS.COM – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mulai mengerjakan rancangan naskah akademik tentang perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Informasi Publik (UU KIP).
Cominpo terus melakukan diskusi multipihak mengenai isu keterbukaan informasi untuk mengumpulkan pandangan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi.
UU KIP sudah berusia lebih dari 10 tahun dan diyakini memerlukan perubahan untuk meningkatkan aksesibilitas digital dan memperkuat kewajiban pemerintah untuk keterbukaan informasi dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak.
Aspirasi yang terkumpul mengenai perlunya perubahan UU KIP dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, jelas Hasyim Gautama, Direktur Manajemen Komunikasi Publik dan Kemitraan. Hasil kajian tersebut tentunya akan menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan rancangan teks ilmiah perubahan UU KIP.
“Kami telah membuat klaster penemuan masalah untuk melakukan amandemen UU KIP. Dalam keterangan persnya, Rabu (14/1), Hashim menjelaskan: “Ada beberapa hal yang perlu ditinjau kembali terkait pemohon dan lembaga publik, seperti proses pengelolaan informasi publik, informasi publik, penyelesaian sengketa, dan peraturan khusus, termasuk ketentuan dalam UU. Kantor Komisioner Informasi (KIP).” Agustus 2024).
Dijelaskannya, berbagai kegiatan berupa pendataan dan focus group Discussion (IOS) telah dilakukan sejak tahun 2023. Pada 15 Desember 2023, salinan naskah kajian UU KIP yang disiapkan Ketua Komisi Informasi Pusat telah dikirimkan. Komisi Informasi Pusat menyerahkan proyek tersebut kepada Menteri Informasi dan Komunikasi sebagai bagian dari usulan pemerintah.
Saat ini sedang dilakukan upaya untuk mengubah UU KIP. Wicaksana Dramanda, Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Negara (PSKN) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran menjelaskan, UU KIP memiliki celah dalam menjamin hak atas informasi. Salah satu yang mendasar adalah terbatasnya definisi badan publik yang tercakup dalam UU KIP.
“Ibarat perusahaan yang mendapat izin dari negara, harus menjalankan fungsi pelayanan publik. Namun karena tidak dibiayai APBN atau APBD, maka dikecualikan dari lembaga publik yang wajib tunduk pada UU KIP, jelas Wicaksana.
Celah hukum lain yang perlu dihilangkan dalam UU KIP antara lain terbatasnya ruang lingkup entitas yang meminta informasi, adanya permintaan yang memberatkan, lamanya waktu pemberian informasi, rumitnya klasifikasi informasi, dan belum adanya regulasi mengenai fungsi hasil. penelitian, karena kelembagaan HKI belum optimal. Penegakan pengungkapan yang tidak efektif dan efektif.
Jelas diperlukan arah peraturan baru yang akan membuat peraturan KIP lebih memadai dan mengurangi hambatan yang muncul. Giri Ahmad Taufik, peneliti lain di Pusat Kajian Kebijakan Negara (PSKN) Fakultas Hukum Universitas Fajajaran, mengatakan perlunya memperluas cakupan pencari informasi dan otoritas publik serta melakukan reklasifikasi informasi publik.
“Kalau pengklasifikasian informasi publik, kami ingin menyederhanakannya berdasarkan data masukan. “Oleh karena itu, ada dua kategori informasi: informasi publik yang harus diumumkan dan informasi yang harus diberikan,” jelas Giri.
Perubahan UU KIP yang saat ini masih dalam tahap akademik memerlukan aspirasi berbagai pihak, termasuk Direktur Informasi dan Dokumen (PPID) yang bertugas mengelola dan menyampaikan dokumen milik otoritas publik. Raides Aryanto, Petugas Penerangan Publik Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi DKI Jakarta, mengatakan perubahan desain naskah akademik harusnya memperjelas definisi dan batasannya.
“Apakah ada syarat khusus bagi orang asing untuk mengakses informasi publik? Apakah ada batasan siapa yang bisa melamar? “Kita harus jelas tentang hal itu,” kata Raides.