Respons Kemendikbudristek hingga Anggota DPR Terkait Polemik Biaya UKT Mahal

TRIBUNNEWS.COM – Mahalnya biaya kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi saat ini sedang menjadi berita utama.

Banyak mahasiswa yang menyampaikan keluh kesahnya terkait hal ini dan berdemonstrasi di kampus masing-masing.

Misalnya saja aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa Universitas Riau (Unri), Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, dan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Sejumlah pihak pun merespons perselisihan tingginya biaya UKT. Inilah beberapa di antaranya. Kementerian Pengetahuan dan Kebudayaan

Kementerian Pendidikan (Kemendikbudristek) menyikapi isu tingginya biaya UKT dengan mengungkapkan bahwa biaya operasional ditanggung langsung oleh perguruan tinggi negeri (PTN).

Biaya tersebut antara lain pembelian surat keterangan kantor (ATK) dan pembayaran dosen bukan pegawai negeri sipil (PNS).

Hal itu diungkapkan Tjitjik Sri Tjahjandari, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada media briefing di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, Rabu (15/05/2024). ,

“Biaya kuliah pasti butuh ATK, butuh LCD, butuh maintenance.”

“Terus dosennya harus kasih minum, terus dia bayar. Apa dosen itu benar-benar gratis?” Dia berkata.

Tzijic mengungkapkan, pendanaan kegiatan praktik juga mencakup biaya sekolah.

Lebih lanjut ia mengatakan, biaya magang tidak bisa ditetapkan secara seragam untuk setiap kelas atau antar program gelar.

“Mengajar kimia seperti saya. Latihannya satu kelas maksimal 25 orang. Dan setiap kelompok latihan hanya 2 sampai 3 orang.”

“Materi yang dikonsumsi masing-masing kelompok latihan berbeda-beda. Mata latihannya pun berbeda-beda.

Perlu biaya juga untuk melaksanakan kerja praktek yang mengikuti prosedur standar, kata Tzitzik.

“Kita memerlukan alat peraga agar siswa dapat memperoleh pemahaman yang lebih realistis terhadap konsep-konsep ilmiah yang diajarkan.”

“Mereka harus berdiskusi, artinya mereka punya dana operasional,” kata Tzitzik.

Kemudian biaya lainnya adalah UTS dan ujian lainnya seperti ujian tugas akhir atau ujian skripsi.

Kendati demikian, Kemendikbud menyediakan dana sebesar Rp4,7 triliun setiap tahunnya kepada 76 PTN pendidikan untuk revitalisasi PTN tersebut.

Namun anggaran tersebut belum dialokasikan untuk operasional.

Dikatakannya, “Hal ini untuk melakukan investasi pada perguruan tinggi ini dan memperbaharui fasilitas yang ada. Utamanya fasilitas praktik, laboratorium dan fasilitas pelatihan yang dapat mengembangkan inovasi di perguruan tinggi ini.” gen kita

Ilham Latupono, Ketua Umum KAMI (Gerakan Komunitas Aktivis Milenial Indonesia), mengkritik kebijakan pemekaran UKT.

Menurutnya, kenaikan biaya sekolah merupakan pengkhianatan terhadap visi Indonesia emas 2045.

“Kebangkitan UKT merupakan bentuk pengkhianatan pimpinan kampus terhadap visi nasional Indonesia Emas 2045.”

“Bukannya memberikan pendidikan terjangkau, kepala sekolah justru menaikkan biaya sekolah,” kata Ilham dalam keterangannya, Rabu (15/05/2024).

Mereka khawatir kenaikan biaya kuliah di kampus negeri akan berdampak pada terciptanya generasi emas yang nantinya akan memimpin Indonesia.

Dikatakannya: “Mahasiswa masa kini akan menjadi pemimpin bangsa dan negara ini pada tahun 2045. Bayangkan jika mereka putus kuliah karena kenaikan UKT yang belum pernah terjadi sebelumnya.”

Atas dasar itu, dia mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus turun tangan.

Jokowi harus menginstruksikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadim Makarim untuk segera membatalkan kenaikan UKT dan melakukan asesmen menyeluruh terhadap operasional PTN.

“Jangan sampai desentralisasi kampus semakin mengarah pada komersialisasi. Apalagi jika merugikan mahasiswa,” ujarnya.

Memang, Ilham menduga kenaikan UKT yang tiba-tiba dan ekstrem ini merupakan upaya sabotase sebagian kelompok terhadap kebijakan Jokowi.

Pasalnya, kenaikan biaya pendidikan sebenarnya terjadi di saat situasi politik di negeri ini masih belum stabil pasca pemilu 2024.

Apalagi, saat ini sedang terjadi masa peralihan kepemimpinan dari Jokowi ke Prabowo Subianto yang dilantik menjadi Presiden terpilih.

Di sisi lain, Ilham menilai Jokowi masih memiliki komitmen tinggi terhadap visi Indonesia Emas 2045.

Namun tanpa dukungan generasi emas, visi tersebut tentu tidak mungkin terwujud.

Menurut dia, kejadian tersebut juga harus menjadi pengingat bagi Prabowo untuk tetap konsisten dan berkomitmen terhadap visi Indonesia Emas 2045 sebagai presiden terpilih.

“Komunikasi mendalam antara Jokovo dan Prabowo diperlukan untuk melanjutkan upaya menuju visi Indonesia Emas. Apalagi di masa transisi kepemimpinan saat ini,” jelasnya.

Guspardi Gaus, Anggota DPR RI dari Fraksi PAN mengaku memahami kekhawatiran mahasiswa dan orang tua seiring banyaknya perguruan tinggi yang meningkatkan UKT.

Dimana kenaikannya bervariasi antara 50 persen hingga 100 persen.

“Peningkatan UKT sebaiknya dilakukan secara bertahap, tidak tiba-tiba.”

“Apalagi kondisi pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia saat ini kurang baik, tingginya kenaikan UKT sebenarnya tidak logis dan tidak relevan,” kata Guspardi kepada wartawan, Jumat (5/10/2024).

Menurutnya, saat ini banyak siswa dan orang tua yang merasakan beban biaya sekolah di PTN sehingga membuat mental mereka tertekan.

“Situasi ini harus menjadi perhatian pemerintah dan langkah-langkah penting harus diambil untuk mengendalikannya,” katanya.

Ia menilai tingginya biaya pendidikan membuat akses masuk perguruan tinggi negeri berstatus PTN-BH (perguruan tinggi negeri berbadan hukum) sulit bagi masyarakat kurang mampu.

Bagi mahasiswa yang tidak mampu, ada jalan keluarnya dengan meminta pembebasan biaya pendidikan.

Namun dari pengalaman banyak pelajar, upaya tersebut seringkali memakan waktu lama dan belum tentu berhasil.

“Sebenarnya dengan konsep PTN-BH, perguruan tinggi harus pintar-pintar mencari pendanaan di luar dana kemahasiswaan dan subsidi pemerintah, karena tidak lagi bergantung sepenuhnya pada APBN.”

“Jangan hanya mengandalkan jumlah mahasiswa yang diterima. Ini bukan inti dari menumbuhkan perguruan tinggi yang berbadan hukum, dan jelas PTN-BH tidak berjalan dengan kapasitas penuh,” ujarnya.

Untuk itu, Guspardi mengatakan perlu dilakukan evaluasi dan kajian terhadap mekanisme otonomi dan pembiayaan PTN-BH.

Terutama terkait otonomi dalam pendanaan dan pengelolaan kebijakan, agar pendidikan tinggi di Indonesia yang berstatus PTN-BH tetap terjangkau oleh masyarakat luas.

“Otonomi dalam pengelolaan sumber pendanaan penyelenggaraan pendidikan jangan sampai menimbulkan timbulnya komersialisasi pendidikan, sehingga membebani peserta didik yang kompeten secara keilmuan dan ingin melanjutkan studinya, merasa tidak mampu karena faktor ekonomi, karena mereka terbebani dengan kenaikan UKT,” tutupnya.

(Tribunnews.com/Deni/Chaerul/Fahdi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *