Refly Harun Labeli Putusan MA Sontoloyo, Sebut KPU Bisa Abaikan

TRIBUNNEWS.COM – Pakar konstitusi Refly Harun angkat bicara terkait keputusan Mahkamah Agung (KM) tentang batasan usia calon kepala daerah 2024 pada Pilkada provinsi.

Dalam putusannya bernomor 23 P/HUM/2024, Mahkamah Agung RI memerintahkan penarikan kembali Pasal 4(1)4(d) PKPU.

Kemudian muncul keputusan Mahkamah Agung yang menyatakan calon gubernur dan wakil presiden harus sudah menjabat minimal tiga puluh tahun. 

Sedangkan Pasal 4(1)(d) Anggaran Dasar KPU (PKPU) berbunyi: “Pastinya 30 (tiga puluh) tahun bagi calon gubernur dan calon pengawas, serta 25 (dua puluh lima) tahun bagi calon keuangan dan calon pengawas negara.” calon wali dan wakil walikota dimulai dengan penetapan pasangan calon”.

Sebelumnya, putusan Mahkamah Agung sempat ramai diperbincangkan karena putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, dikabarkan mendapat karpet merah untuk mencalonkan diri pada Pilkada 2024.

Itu sebabnya Refly Harun menyebut keputusan MA sebagai keputusan bodoh.

Menurut dia, Undang-undang (UU) Pemilihan Gubernur, Delegasi, dan Walikota Tahun 2016 Nomor 10 mengatur bahwa usia tiga puluh tahun merupakan syarat administratif bagi seseorang untuk mendaftar sebagai calon gubernur dan presiden, bukan untuk dilantik.

“Aku mengucapkan kalimat sontoloyo.” Bayangkan, kalau membaca UU Nomor 10 Tahun 2016, jelas syarat pencalonan atau calon adalah harus berusia 30 tahun, kata Refly di Jalan Brawijaya, Batavia Selatan, Sabtu (1/6/2016). 2024).

“Yang jelas ketentuannya (umur berlaku) belum ditetapkan,” imbuhnya.

Keputusan MA itu muncul ketika nama Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang dikukuhkan sebagai calon wakil presiden (cawagub) Batavia 2024 dari Partai Gerindra.

Namun, sebelumnya jalur Kaesang untuk mengikuti Pilkada 2024 masih tertutup karena adanya perintah KPU yang mewajibkan calon gubernur sudah terdaftar minimal 30 tahun.

Padahal, Pilkada 2024 akan digelar serentak pada November 2024. Sementara itu, Kaesang akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024.

Kemudian Mahkamah Agung melakukan perubahan batasan usia calon direktur daerah.

Dengan adanya perubahan aturan MA, Kaesang berpeluang mengikuti kompetisi Pilkada Serentak 2024.

Pasalnya, ia baru dianggap memenuhi syarat ketika usianya sudah 30 tahun jika dilantik pada 2025.

Diketahui, Mahkamah Agung telah menerima permohonan sidang yudisial dari Direktur Jenderal Penjaga Perubahan Indonesia (Garuda), Ahmad Ridha Sabana terkait syarat minimal usia calon kepala daerah. KPU tidak bisa mematuhi putusan Mahkamah Agung

Setelah memutuskan perubahan aturan batas usia calon di negara tersebut, MA memerintahkan KPU mencabut PKPU Pasal 4(1)(d) PKPU Nomor 9.

Namun, menurut Refly, KPU bisa saja mengabaikan putusan MA.

Karena UU Pilkada No. 10 di antara nominasi atau nominasi tahun 2016 saja.

UU Pilkada tidak menyebutkan usia pelantikan.

Oleh karena itu, Refly menyebut KPU tidak bisa menaati putusan MA karena aturan KPU (PKPU) dibuat berdasarkan logika hukum.

Apalagi status hukumnya lebih tinggi dari PKPU.

“Tapi kalau kita lihat UU Nomor 10 Tahun 2016, jelas soal pencalonan dan pencalonan. Bukan pencalonan.”

Jadi, misalnya KPU percaya dengan undang-undang, bisa mengabaikan putusan MA. Karena itu norma hukum, kata Refly, Sabtu.

Refly menilai keputusan MA penuh dengan pertanyaan politik untuk memenuhi kepentingan Kaesang.

Mahkamah Agung telah memutuskan bahwa melemahnya demokrasi juga merupakan sebuah pertanda.

Begitu pula dengan Mahkamah Konstitusi (KC) yang pernah mengubah syarat usia calon presiden dan wakil presiden sehingga membuka jalan bagi kakak laki-laki Kaesang, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju ke Pilpres 2024.

“Lagipula, putusan MA merupakan sister court.” Kemarin (putusan Mahkamah Konstitusi) adalah pengadilan kakak,” kata Refly, seperti dilansir Kompas.com.

Jawabannya, syarat usia untuk diangkat hanya ada dalam undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK).

Jika hakim konstitusi harus berusia 40 tahun, kini aturan tersebut diubah menjadi 55 tahun. 

“Karena undang-undang memerintahkan untuk diangkat dan dicalonkan. Bukan untuk dicalonkan. Karena kalau dicalonkan, ketentuannya ada dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi,” kata Refly. 

(Tribunnews.com/Rifqah/Danang Triatmjo) (Kompas.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *