TRIBUNNEWS.COM – Beberapa partai politik (partai) secara terbuka menolak tawaran Amiens Rice untuk terpilih kembali menjadi Ketua Partai Revolusi Rakyat Mongolia.
Partai Demokrat, PDIP, Gerindra, dan PKS mengutarakan perbedaan pendapat dengan Ketua MPR periode 1999 hingga 2004.
Wakil Anggota Parlemen DPP Babirukamha Rakumani menilai usulan pengangkatan presiden oleh MPR RI hanya akan mengulangi kesalahan masa lalu.
Kamha sebenarnya menganggap usulan itu memperburuk keadaan.
Kamal membenarkannya, Kamis (6 Juni 2024), dengan mengatakan, “Jika pengembalian pemilu presiden ke MPR menunjukkan kekecewaan kita terhadap kehidupan demokrasi saat ini, maka hal itu hanya akan mengulangi kesalahan yang sama.”
“Itu bisa menjadi lebih buruk.”
Selain itu, Kamhar juga menyebut pemilihan presiden yang diajukan Liga Awami merupakan kemunduran bagi demokrasi Indonesia.
Selain itu, ia meyakini kualitas demokrasi telah meningkat melalui berbagai cara sejak reformasi.
“Kami percaya perbaikannya memerlukan pendekatan sistematis,” katanya. Mulai dari pembenahan partai politik, mekanisme, dan sistem pemilu hingga membangun budaya demokrasi. PDIP mengungkap kontroversi pemilu
Sekjen PDIP Hasto Cristianto pun menolak.
Hastot juga baru-baru ini mengusulkan pemilihan langsung yang dinilai penuh intimidasi.
“Seharusnya tidak terjadi, tapi demi kekuasaan akhirnya terjadi,” jelas Hasto.
Hastot mengatakan, usulan Amiens-Reis tidak akan menyelesaikan persoalan buruk pemilu langsung yang terjadi saat ini.
Dia percaya bahwa kedaulatan tidak bisa dicabut.
“Tapi solusinya bukan menghapuskan kedaulatan rakyat, tapi memperbaikinya,” kata Hasto: Bosan dengan gaya pemilu presiden yang membosankan?
Di sisi lain, Habib Brochmann, Wakil Ketua Umum Partai Grinder, mengatakan keputusan Partai Revolusioner Rakyat untuk memilih kembali presiden harus mengikuti kemauan rakyat.
Ia pun menanyakan kepuasan masyarakat terhadap pemilu presiden.
“Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap pemilu presiden dan wakil presiden kali ini? Apakah mereka bosan dengan gaya pemilu presiden yang membosankan seperti 3 pemilu yang lalu, ataukah masyarakat masih bahagia? (6 Juni 2024).
Habib Bruchmann tak menampik bahwa dirinya muak dengan sistem pemilu langsung yang dijalankan partainya.
Namun, menurutnya, segala keputusan harus diserahkan kepada rakyat.
“Kalau di level politisi seperti kita yang mencalonkan diri sebagai presiden, model pemilu presiden terlalu melelahkan dan masyarakat tidak bisa memilih secara langsung.”
“Tapi kita tidak bisa mengambil keputusan hanya berdasarkan kepentingan dan keadaan,” ujarnya. Kami fokus pada apa yang diinginkan masyarakat. “Biarkan mereka merasa haknya dirampas. Kita tidak bisa sembarangan.” Pan pun menolak
Wakil Presiden Pan, Viva Yoga Maula, juga menolak pembicaraan amandemen UUD 1945 dan mengembalikan pemilihan presiden ke MPRP.
Viva mengatakan, pemilihan umum langsung merupakan bagian dari tradisi politik dan budaya demokrasi Indonesia.
“Jika ada permasalahan, kendala atau kekurangan, kami akan bekerja sama dengan partai politik, pemerintah, dan seluruh lapisan masyarakat untuk memperbaikinya,” kata Viva kepada Tribunnews.com, Jumat.
Ia juga membantah kebijakan moneter menjadi penyebab kegagalannya dalam pemilu presiden.
“Belum tentu begitu, justru akan semakin besar karena pemilihnya lebih sedikit, sehingga lebih mudah untuk berkoordinasi,” kata Viva.
Ia menegaskan, kalaupun ada permasalahan seperti transfer kekuasaan, kebijakan moneter, dan kendala teknis administratif, hal itu hanya bisa diselesaikan.
Namun adanya kendala teknis jangan dijadikan alasan untuk mengubah prinsip demokrasi, suara rakyat adalah suara Tuhan, kata Viva. pandangan PKS
Usulan Amin Rice ditolak PKR.
Ketua Umum Partai Progresif Demokrat PKS Mardani Ali Serra mengaku paham betul usulan tersebut dilontarkan karena maraknya kebijakan moneter saat pemilu.
“Politik berbiaya tinggi, politik berbiaya tinggi ini melahirkan oligarki politik, dan nampaknya ada buku-buku oligarki, yang mengarah pada saling ketergantungan atau ketergantungan politik, karena toko buku biasanya meninggalkan informasi, sehingga tujuannya “cukup”.
Ia mengatakan, olimpiade politik yang terjadi saat ini merugikan masyarakat.
Sebab elite politik terpilih hanya akan mengutamakan kepentingan kaum oligarki.
“Saya kira perlawanan terhadap hal tersebut tidak akan dilakukan secara lokal, tidak langsung maupun tidak langsung melalui pemilu, tapi kita harus belajar bagaimana merevitalisasi partai, merevitalisasi rotasi pimpinan partai,” ujarnya. menjelaskan.
(Tribunnews.com/Jayanti Tri Utami/Fersianus Waku/Igman Ibrahim)