Produk China membanjiri Indonesia, puluhan pabrik tekstil tutup dan badai PHK – ‘Kondisi industri tekstil sudah darurat’

Industri tekstil Indonesia berada dalam kondisi “darurat” setelah melemahnya pasar global dan membanjirnya produk impor dari Tiongkok yang menutup puluhan pabrik dan memecat lebih dari 13.000 pekerja, kata pengamat industri tekstil. Apakah ada solusi untuk masalah ini?

Jemmy Kartiwa Sastratmaja, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), mengatakan penurunan daya beli global dan konflik geopolitik diperparah dengan membanjirnya produk Tiongkok ke Tanah Air.

Sayangnya, menurut Rizal Tanzil Rahman, pengamat industri TPT, pemerintah Indonesia justru membuka keran impor tanpa memperhitungkan nasib industri TPT nasional.

Sementara itu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hassan mengatakan tarif pajak impor sebesar 200% akan dikenakan pada produk yang diimpor dari Tiongkok untuk melindungi arus barang ke Indonesia.

Mudah-mudahan dalam satu atau dua hari ini Peraturan Perdagangan (Peraturan Menteri Perdagangan) sudah siap, kata Zulkifli di Bandung, Jawa Barat, seperti dikutip Antara, Sabtu (29 Juni).

Namun, apakah penerapan pajak impor sebesar 200% terhadap produk Tiongkok, yang disebut sebagai “jalan keluar”, akan menjadi solusi efektif bagi industri tekstil? “Gaji tidak dibayarkan, apalagi pesangon”

Ratusan pekerja di pabrik PT Dupantex menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal setelah perusahaan tekstil raksasa di Pekalongan, Jawa Tengah itu mengumumkan penutupannya hingga 6 Juni 2024.

Salah satunya adalah Bunaya.

Ibu tiga anak ini mengaku mendapat ujian berat setelah dipecat dari perusahaan yang dipercayanya menghidupi keluarganya selama 25 tahun.

Meski di-PHK, ia tidak menerima gaji apa pun selama tiga bulan meski berstatus PHK.

“Iya, saya pekerja tetap, sudah tiga bulan saya tidak menerima gaji. Sebelum PHK ini ada penundaan gaji sekitar tiga sampai empat bulan dan gaji tidak dibayarkan,” ujarnya.

Bahkan tunjangan hari raya (THR) yang menjadi haknya menjelang Idul Fitri pada 9 April hanya sebesar 50% dari nominal THR.

“Belum gajinya [terlambat tiga bulan], apalagi pesangon,” ujarnya.

Sebelumnya, gaji Buaya setara dengan upah minimum kabupaten/kota (UMK) yakni Rp2,3 juta.

Jika nominalnya dikalikan tiga bulan, berarti perusahaan berutang kepada perempuan paruh baya tersebut sebesar Rp6,6 juta. Itu belum termasuk pinjaman THR dan pesangon.

Bunaya mengatakan, dirinya dan pekerja lainnya terus memperjuangkan haknya dengan mengamankan lokasi pabrik PT Dupantex dan mencegah perusahaan menjual aset.

“Saya sedang memperjuangkannya sekarang, dan jika semuanya sudah selesai, saya akan mencari pekerjaan,” katanya.

Kini ia mengharapkan bantuan dari pemerintah setempat atau pemerintah pusat untuk segera menyelesaikan masalah tersebut.

Pengacara PT Dupantex Hanungka Jinawi mengatakan, pihaknya akan mengambil langkah terbaik untuk buruh dan perusahaan. Hanukkah pun membenarkan kondisi perusahaan yang kurang baik sehingga terpaksa merumahkan karyawannya.

“Perusahaan berada dalam situasi keuangan yang sangat buruk, situasinya terus memburuk. Oleh karena itu, kami akan terus berupaya memenuhi hak-hak karyawan,” kata Hanukkah seperti dikutip detikcom. “Saya memutuskan untuk tinggal”

Sementara Dewi, mantan karyawan PT SAI Apparel di Semarang, Jawa Tengah, memilih mengundurkan diri karena syarat kontrak ketimbang menyetujui permintaan perusahaan untuk pindah ke pabrik barunya di Grobogan.

Ibu dua anak ini mengatakan, jarak rumahnya ke pabrik baru sekitar 30 km. Dia mengaku gajinya rendah.

Upaya itu tidak sepadan baginya.

“Beda di daerah, UMK di Grobogan kecil, beda Rp 1 juta dengan UMK di Semarang.”

Kini Dewi lebih memilih bekerja dengan celemek, pisau daging, dan potongan ayam yang banyak dijual di pasar.

“Iya karena modalnya kecil, hasilnya belum terlihat karena kita baru memulai, kerja keras di awal, tapi semuanya harus dilakukan.”

Jemmy Kartiwa Sastratmaja, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan industri TPT nasional saat ini “tidak berkinerja baik”.

Saya ingin menegaskan kembali bahwa situasi ini bermula ketika pandemi Covid-19 menyebabkan kenaikan inflasi di seluruh dunia, sehingga mengakibatkan penurunan daya beli atau permintaan global.

Pada saat yang sama, kata Jamie, masyarakat lebih memprioritaskan makanan daripada pakaian sebagai kebutuhan utama mereka.

“Jadi berdampak pada kemampuan membeli pakaian di Amerika, UE, bahkan Jepang,” kata Jamie.

Alasan lainnya, menurut Jamie, konflik geopolitik di Ukraina dan Rusia juga turut menyebabkan stagnasi pasar tekstil global.

Melemahnya nilai tukar rupee terhadap dolar AS membuat biaya pembelian bahan baku semakin mahal karena sebagian besar masih diimpor.

Namun, Jemmy mengatakan alasan utamanya adalah Kementerian Perdagangan merevisi Peraturan Pertimbangan Teknis (Pertech) melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023.

Jamie menilai aturan perdagangan yang dikeluarkan Menteri tersebut telah melonggarkan aturan impor.

Secara sederhana, importir umum pakaian jadi, alas kaki, besi, baja, obat-obatan tradisional, kosmetika, dan elektronik sudah tidak lagi memiliki prosedur penerbitan Pertimbangan Teknis (Pertek) sebagai prasyarat untuk memperoleh izin impor (PI).

Padahal, Pertek, klaimnya, merupakan safeguard atau pelindung bagi industri dalam negeri agar tetap mampu bertahan di pasar dalam negeri.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan berdalih akibat menumpuknya kontainer kargo impor di beberapa pelabuhan, maka Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 diubah menjadi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024.

Jamie mengatakan, tumpukan kontainer tersebut berisi pakaian siap pakai asal China. Pasalnya, industri tekstil China kembali beroperasi setelah pandemi Covid-19 mereda.

“China adalah produsen tekstil terbesar dan mempunyai kelebihan kapasitas. Apa dampak dari kelebihan produksi ini? Negara yang lemah dalam menerapkan hambatan perdagangan yaitu Indonesia,” imbuhnya.

Membanjirnya produk impor Tiongkok membuat produk industri TPT nasional “tidak mendapat jatah” di pasar dalam negeri, kata Jamie, karena harganya jauh lebih murah.

“Akhirnya industri tekstil menjadi kurang produktif dan terjadi PHK,” kata Jamie kepada BBC News di Indonesia. Berapa banyak pabrik yang tutup?

Lusinan pabrik tekstil telah tutup dan sedikitnya 13.800 pekerja diberhentikan, kata Jamie.

Situasi ini mulai muncul pada akhir tahun 2022 dan mencapai puncaknya pada tahun ini, ujarnya.

Ristandi, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPN), mengatakan ada sepuluh perusahaan yang melakukan PHK massal (PHK).

Enam di antaranya disebabkan oleh penutupan pabrik dan empat sisanya disebabkan oleh efisiensi staf.

Dia mengatakan, data tersebut mungkin meremehkan kondisi di lapangan karena tidak semua perusahaan bersedia menerima PHK massal.

“Saat ini kami telah meminta izin untuk mengungkapkan enam perusahaan tertutup yang ditutup pada Januari hingga awal Juni 2024 dan empat perusahaan lainnya kini telah dihapus karena inefisiensi.”

Pabrik-pabrik tekstil tutup, yang berarti mereka gulung tikar, dan terjadi PHK besar-besaran: PT Dupantex di Jawa Tengah memberhentikan sekitar 700 pekerja. PT Alenatex di Jawa Barat, PT Kusumahadi Santosa di Jawa Tengah memberhentikan sekitar 700 karyawan, PT Pamore Spinning Mills di Jawa Tengah memberhentikan sekitar 700 karyawan, PT Kusumaputra Santosa di Jawa Tengah dan PT Sai memberhentikan sekitar 400 karyawan. Garmen, Jawa Tengah, melepas sekitar 8.000 orang

Pabrik tekstil yang melakukan PHK massal karena inefisiensi: PT Sinar Pantja Djaja, Semarang, sekitar 2.000 pekerja PT Bitratex, Semarang, sekitar 400 pekerja PT Djohartex, Magelang, sekitar 300 pekerja PT Pulomas, Bandung sekitar 100 pekerja Status pekerja lini nasional Nampaknya industri ini “sudah berada di unit perawatan intensif”.

Pengamat industri tekstil Rizal Tanzil Rahman mengaku sudah lama memperingatkan pemerintah bahwa industri TPT nasional memerlukan “perlakuan khusus” selama dan pasca pandemi Covid-19.

Pasca Covid-19, Rizal mengatakan industri TPT dalam negeri masih belum pulih sepenuhnya akibat lesunya pasar global.

Ia mengklaim beberapa negara seperti India dan Turki sudah menyadari situasi serupa.

Dia mengatakan kedua negara telah menerapkan langkah-langkah keamanan internal.

Karena mereka tahu kondisi dalam negeri harus dijaga, kata Rizal.

“Masalahnya adalah Tiongkok sedang melakukan pemulihan terlebih dahulu, yang berarti industrinya akan melakukan upaya untuk menormalisasi produksi. Namun [Tiongkok] mempunyai persediaan dan dunia belum siap.”

Sayangnya, kata Rizal, pemerintah Indonesia membuka keran impor tanpa mempertimbangkan situasi mendesak industri TPT nasional melalui revisi Peraturan Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023.

Puluhan pabrik kini telah ditutup, menyebabkan puluhan ribu pekerja di-PHK.

“Sekarang [situasi industri tekstil] seperti unit perawatan intensif, bukan perawatan biasa. Satu pukulan lagi, semuanya berakhir. Ibarat tenggelam, terserah hidungmu.”

“Jumlah [barang impor] Tiongkok sangat besar, tidak terkendali, dan murah. Saya menyebutnya, kita tidak bisa bersaing dengan Tiongkok tanpa perlindungan pemerintah.”

“Lihatlah pedagang grosir tekstil Indonesia seperti Tanah Abang, mereka menjual produk China, Taiwan, dan Vietnam. Di mana industri kita ingin menjual?”

“Sekarang masyarakat umumnya membeli produk karena murah, bagus, dan banyak variasinya.”

Menyikapi kondisi tersebut, Presiden Jokowi menggelar rapat terbatas dengan sejumlah menteri pada Selasa (25 Juni), antara lain Menteri Perdagangan Zulkifli Hassan, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Zulkifli Hasan mengatakan, pemerintah sedang mempertimbangkan untuk memberlakukan kembali Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 atau mengenakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD).

Zulkifli Hasan kemudian mengatakan pemerintah Indonesia akan mengenakan bea masuk terhadap barang yang diimpor dari China. Bea masuk atas barang impor dari China bisa mencapai 200%.

“Mudah-mudahan deregulasi perdagangan akan berakhir dalam satu atau dua hari. Ketika ini berakhir, kita akan memiliki apa yang kita sebut tarif impor dan kita akan menggunakan tarif untuk melindungi barang-barang yang datang ke sini dengan cepat,” kata Zulkifli. Seperti dilansir Antara pada Sabtu, 29 Juni. di Bandung, Jawa Barat.

Zulkifli mengatakan, perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang terjadi saat ini telah menyebabkan kelebihan produksi di Tiongkok sehingga mengakibatkan negara-negara Barat menolak produk impor dari Tiongkok.

Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan peningkatan membanjirnya produk-produk Tiongkok, termasuk pakaian, baja, dan tekstil, ke Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah akan mengenakan bea masuk terhadap barang yang diimpor dari Tiongkok sebesar 100 hingga 200% dari harga barang tersebut, kata Zulkifli.

“Amerika dapat mengenakan tarif hingga 200 persen [dari Tiongkok] pada pakaian dan keramik, dan kami juga bisa melakukannya,” katanya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam jumpa pers APB Kita, Kamis (27/8), mengatakan pihaknya masih menunggu surat dari Kementerian Perdagangan dan Perindustrian terkait peluncuran BMTP dan BMAD. Tekstil, pakaian, sepatu, tas, elektronik, kosmetik, baja.

Dia meyakinkan, kebijakan ini akan diterapkan untuk memberikan perlindungan yang adil terhadap industri dalam negeri.

Nanti kita tunggu surat dari Kementerian Keuangan, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian yang suratnya diatur oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, baik itu Peraturan Pemerintah (PP) maupun Undang-Undang (UU), jelas Sri Mulyani. Apa ekspektasi API?

Jemmy Kartiwa Sastratmaja, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), berharap seluruh langkah pemerintah untuk menyelamatkan industri TPT dapat segera dilaksanakan dalam beberapa minggu ke depan.

“Saya berharap kali ini pemerintah benar-benar mendengarkan aspirasi kita. Salah satu [solusi] adalah menerapkan BMTP dan BMAD, tapi kami tahu itu harus melalui proses dan memakan waktu.”

Sementara itu, pengamat industri TPT Risil Rehman menilai pemerintah segera melaksanakan langkah pemerintah untuk segera memulihkan regulasi perdagangan.

Sebab, jika memanfaatkan pengamanan dan bea masuk anti dumping (BMAD), akan memakan waktu lama, mulai dari enam bulan hingga satu tahun.

“Bmad dan BMTP tidak akan dikeluarkan setelah melalui Organisasi Perdagangan Dunia karena harus melalui Organisasi Perdagangan Dunia.”

“Seharusnya mudah untuk mengirimkan Petric dari 36 peraturan perdagangan dan membutuhkan teman industri.”

Rizal mengatakan, hal ini perlu dilakukan mengingat industri tekstil di Indonesia masih tertinggal.

Perhitungannya mengasumsikan tenaga kerja langsung yang diserap industri TPT lebih dekat dengan masyarakat. Bahkan orang dengan tingkat pendidikan minimal pun bisa diterima di jurusan ini.

“Lulusan mudanya bisa bekerja di pabrik facial. Apakah mereka sudah dewasa sekarang? Menampung 40 lakh keluarga.”

“Sekarang pasar lokal perlu kita jaga agar tempat ini dipenuhi produk nasional. Industri lokal dipenuhi dengan produk nasional. Ekspor penuh dengan produk Tiongkok.”

Jurnalis dari Cereng, jurnalis di Jawa Tengah, berkontribusi dalam laporan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *