Pro-Kontra dari PDIP, Gerindra hingga Demokrat soal Revisi UU Kementerian

TRIBUNNEWS.COM – Perubahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara saat ini sedang dalam pembahasan di DRC RI. 

Peninjauan tersebut bertepatan dengan bertambahnya jumlah kementerian menjadi 40 kementerian di bawah pemerintahan Presiden terpilih dan Wakil Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakbuming Raka.

Selasa (14/5/2024), pembahasan amandemen undang-undang tersebut digelar Wakil Presiden Kongo Baleg alias Aviek Ahmad Baidovi. 

Perubahan tersebut dilakukan untuk mengubah pasal yang mengatur jumlah kementerian. 

Rancangan usulan tersebut memperjelas bahwa Pasal 15 “Tentang Kementerian Negara” undang-undang sebelumnya mengatur jumlah kementerian yang berada di bawah maksimal 34 kementerian. 

Dalam perubahan undang-undang “Tentang Kementerian Negara” diubah untuk menentukan jumlah kementerian sesuai dengan kebutuhan Presiden, dengan memperhatikan efisiensi administrasi publik, sehingga jumlah kementerian tidak tetap.

Namun, tidak ada penolakan terhadap amandemen undang-undang tersebut dari sejumlah pihak. 

Pro dan kontra sejumlah pihak terhadap perubahan UU Kementerian Negara tersaji lengkap: PDIP menolak. 

Sekretaris Jenderal PDI-P (PDIP) Hasto Cristianto sebelumnya membantah pembicaraan mengenai perubahan undang-undang tersebut.

Hasto mengatakan, UU Kementerian Negara tidak dirancang untuk mengakomodir kekuasaan politik, melainkan untuk mencapai tujuan bernegara.

Mengingat seluruh proyek Kementerian Negara ditujukan untuk mencapai tujuan negara dan bukan pengerahan seluruh kekuatan politik, kata Hasto saat ditemui di Galeri Nasional, Jakarta, Senin (13/5/2024).

Ia menegaskan, perencanaan kabinet harus efektif dan efisien dalam menghadapi tantangan perekonomian seperti pelemahan rupee, ketenagakerjaan, industrialisasi, pendidikan, kesehatan, dan tantangan geopolitik.

“(Langkah yang dilakukan) jangan untuk menambah ruang hidup,” kata Hasto.

Hasto menilai undang-undang Kementerian Negara saat ini, khususnya ketentuan jumlah menteri, masih picik dalam penerapannya.

“Menurut PDIP, kami menilai masih visioner untuk bisa menyikapi berbagai permasalahan bangsa dan negara saat ini dengan UU Kementerian Negara yang ada saat ini,” kata Hasto.

Padahal, kata Hasto, setiap presiden terpilih berhak membentuk kabinet.

Namun, ia mengatakan undang-undang “Tentang Kementerian Negara” yang ada mampu mencerminkan seluruh tanggung jawab negara. Nilai-nilai demokrasi yang benar 

Herman Heron, Ketua BPOKK Partai Demokrat, menilai penambahan jumlah kementerian sudah tepat dan tepat.

Harman mengatakan, sudah saatnya posisi menteri di Indonesia dikembangkan.

“Tentu waktunya sudah tepat, saatnya kita mengembangkan jabatan menteri,” kata Harman, Rabu (15/5/2024) di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan.

Selain itu, bertambahnya jumlah kementerian akan membuat sistem pemerintahan lebih efisien, kata Herman.

Karena dengan jumlah yang tidak terhingga maka kebutuhan untuk merakit lemari akan semakin luas.

“Karena pada akhirnya kalau dilihat efektivitasnya, semakin spesifik cakupannya, semakin luas kementeriannya, semakin spesifik cakupannya, semakin efektif cara melihatnya,” ujarnya. 

Meski begitu, komposisi kabinet atau jumlah kementerian selanjutnya sepenuhnya terserah presiden, kata Harman.

Jadi menurutnya, Partai Demokrat menyerahkan sepenuhnya jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI kepada Prabowo dan Gibran. Gerindra – Tidak ada penambahan jumlah menteri yang bisa dikerahkan

Sementara itu, Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasko Ahmad menegaskan amandemen ini tidak sebanding dengan jumlah menteri.

Namun, Undang-Undang Kementerian ini diubah untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah.

“Kalau UU Menteri diubah, mungkin bukan untuk mengakomodir menteri tertentu, tapi untuk memenuhi syarat nomenklatur,” kata Dusko di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Selasa (14/5/2024).

Dasko mengatakan, perubahan Undang-Undang Kementerian Negara bertujuan untuk mengefektifkan dan memaksimalkan kerja Kabinet ke depan. 

Selain untuk mengefektifkan kerja Kabinet ke depan, kata Dusko.

Namun Dasko mengatakan hingga saat ini Presiden terpilih Prabowo Subianto belum pernah membahas revisi undang-undang menteri tersebut.

“Saat ini saya belum bisa berkomentar lebih jauh karena hal tersebut tidak pernah dibicarakan di tempat Pak Prabowo,” ujarnya. Pengamat: Untuk Prabowo 

Dedi Kurnia Syah, pengamat politik dan direktur eksekutif Indonesia’s Political Opinion (IPO), menilai pemerintahan Prabowo-Gibran perlu membahas tinjauan hukum yang terburu-buru di Kongo.

“Yang jelas perubahan ini adalah kepentingan Prabowo dan akan menjamin kekuatan partai-partai yang turut berkontribusi dalam kemenangan Pilpres,” kata Dedi saat dihubungi, Rabu (15/5/2024).

Menurut dia, jumlah kementerian yang berfungsi saat ini sudah mencukupi.

Hasil kerja kabinet tidak memuaskan hanya karena pengelolaannya yang tidak tepat.

Apalagi ada anomali komposisi yang ada, terlalu banyak jabatan yang tidak diperlukan seperti Wakil Menteri yang hanya cocok untuk jabatan politik, jelasnya.

(Tribunnews.com/Milani Resti/Rahmat Fajar Nugraha/Rizki Sandi Saputra) 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *