Praktisi Pendidikan: Penanaman Literasi dan Numerasi Tidak Hanya Jadi Tanggung Jawab Guru

Reporter TribuneNews.com, Fahdi Fahlavi melaporkan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Hasil Asesmen Nasional tahun 2023 menunjukkan masih terdapat 39 persen siswa SD/Sederajat yang belum memiliki kualifikasi minimal membaca dan 54 persen yang belum memiliki kualifikasi minimal berhitung.

Tenaga kependidikan Galih Sulistianingra mengatakan literasi lebih dari sekedar membaca, menulis dan berhitung (Kalistung) karena menyangkut pemahaman kata-kata.

“Oleh karena itu, literasi tidak hanya menjadi tanggung jawab guru bahasa dan matematika Indonesia saja, tetapi juga tanggung jawab seluruh guru, termasuk orang tua dan pengambil kebijakan,” kata Galih.

Hal itu diungkapkan Galih dalam podcast motivasi yang diselenggarakan oleh Tanoto Foundation dan ParentTalk yang ditayangkan di channel YouTube Tanoto Foundation.

Menurut Galih yang juga berprofesi sebagai guru SD, kemampuan literasi dini bukan hanya soal angka dan huruf saja, namun bagaimana cara memahami dan memahaminya.

Keterampilan literasi harus menjadi dasar bahkan bagi anak-anak Kalistong.  

“Sebelum Kalistung itu ada yang namanya ‘pra’. Seperti sehat, itu meliputi ‘pra’ membaca, menulis, dan matematika. Kemudian anak-anak diajari huruf dan kata,” kata Galih.

Ia juga berbagi tips bagi para orang tua yang ingin mengembangkan kemampuan literasi anaknya sejak dini melalui pemahaman.

“Ada sesuatu yang disebut ‘pengenalan cetak’. Sebenarnya, Anda bisa memulainya dengan simbol atau gambar. Meski tertulis, kita bisa memulainya dengan gambar.

Sedangkan mengenai keterampilan numerik, lanjut Galih, mengatakan bahwa angka masih berkaitan dengan keterampilan matematika yang kompleks.

“Membaca tentunya bisa dikuatkan dengan cara saling menulis. Jangan hanya mengajarkan simbol angka. Kita harus mengajar dengan hal yang nyata. ‘satu’ adalah satu hal, ‘dua’ adalah dua hal. Sehingga anak-anak biasakanlah, kalau angkanya besar, angkanya akan bertambah,” kata Galih.

Menurut Galih, literasi harus dikembangkan tidak hanya melalui pembelajaran membaca alfabet, tetapi juga melalui keterampilan visual, mendengar, berbicara, dan menulis.

Semua itu dibangun melalui komunikasi yang erat dengan guru dan orang tua di rumah. Oleh karena itu, guru dan orang tua harus lebih terlibat.

Galih mengatakan, guru harus pintar agar anak gemar membaca.

Kejutan yang umum terjadi adalah adanya pojok baca yang biasanya hanya menarik perhatian siswa selama beberapa minggu, kemudian ditinggalkan.

“Kalau mau berkelanjutan harus memanfaatkan buku fisik dan digital yang banyak pilihannya, sekarang sudah banyak platform yang menyediakan buku secara gratis,” ujarnya.

Misalnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyediakan beragam buku digital di platform Sistem Informasi Buku Indonesia (SIBI) yang dapat diakses secara gratis oleh siswa dan guru.

Di sisi lain, seniman Sophie Navita mengatakan kunci literasi adalah literasi dan disiplin.

Menurut Sophie, saat anak menginjak usia 3 tahun, ia sudah dikenalkan dengan huruf dan angka, misalnya dengan mengajaknya berhitung dari 1 hingga 10.

Disiplin penting agar anak bisa diam dan mendengarkan apa yang diajarkan orang tuanya.

“Misalnya hari ini mungkin hanya 5 detik, besok mungkin lebih lama, kemajuannya setiap hari,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *