Praktisi Kesehatan: Sulit Harapkan Kecukupan Kalori dan Gizi dari Menu Rp10 Ribuan 

 

Laporan reporter Tribunnews.com Aisyah Nursyamsi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dokter Ngabila Salama menyampaikan beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian terkait penerapan program makan siang bergizi gratis yang dijalankan pemerintahan Prabowo Subianto. 

Yang pertama mengacu pada kecukupan kalori dan nilai gizi dari menu makanan yang disajikan. 

“Sulit mengharapkan kecukupan kalori dan gizi dari menu 10 ribu yang juga harus disediakan. Tidak ada pajak yang tinggi, pemotongan anggaran dan sebagainya,” kata Ngabila dalam keterangannya, Rabu (1/8/2025). . 

Penting juga bahwa konsep menu yang digunakan harus sesuai dengan isi piring. Setengah piring sayur dan buah. Setengah lauknya banyak mengandung protein hewani dan karbohidrat. 

Hal ini dikarenakan anak tetap membutuhkan hormon untuk tumbuh kembangnya, tentunya sangat membutuhkan protein hewani.

Kedua, perlu dipastikan penjual makanan mempunyai sertifikat kebersihan dari Puskesmas setempat untuk mencegah kontaminasi atau keracunan makanan massal. 

Sebaiknya tidak menggunakan kemasan plastik atau kertas. 

“Sebaiknya gunakan alat makan yang dapat digunakan kembali agar anggaran lauk protein hewani menjadi lebih besar,” imbuhnya. 

Ketiga, program ini harus didukung penuh oleh seluruh lapisan masyarakat. 

Program ini juga memerlukan pemantauan evaluasi secara berkala dan penyatuan menu-menu di wilayah mikro (sub-wilayah) serta memungkinkan konsultasi dengan ahli gizi. 

Ngabila juga menyinggung tidak adanya susu dalam program makanan bergizi gratis ini. Menurutnya, Indonesia saat ini tidak lagi menggunakan produk susu full 4 sehat 5 dan UPF (unnatural).

Ada juga masyarakat Indonesia yang alergi terhadap protein susu sapi. Jadi kamu tidak bisa minum susu.

“Jadi secara pribadi lebih baik menambah komposisi protein hewani (sumber pangan alami langsung yang bukan UPF/pangan ultra-olahan) daripada susu,” imbuhnya. 

Terakhir, Ngabila meyakini program makan gratis bergizi ini berpotensi melahirkan generasi sehat jasmani dan rohani.

Sehingga kita berharap dapat mencapai puncak bonus demografi pada tahun 2030 dan Indonesia Emas pada tahun 2045.

“Dengan menciptakan budaya makan sehat dan hemat setiap hari akan menjadi contoh di rumah dan dalam kehidupan sehari-hari,” tutupnya. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *