Laporan reporter Tribunnews.com Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Prabowo Subianto dan kawan-kawan diperkirakan akan menghadapi persoalan bagaimana membentuk pemerintahan yang di satu sisi membutuhkan dukungan politik yang cukup dan mewakili seluruh kekuatan politik, begitu pula sebaliknya. . Mengelola dan bekerja secara efektif berdasarkan efisiensi.
Dengan kata lain, pemerintahan baru akan dihadapkan pada pilihan antara dimensi representasi dan dimensi pemerintahan ketika membentuk kabinet berikutnya.
“Faktor keterwakilan dan dukungan politik di satu sisi, serta kemampuan memerintah secara efektif di sisi lain, merupakan dilema yang selalu dihadapi setiap pemerintahan di Indonesia,” kata Ketua Perikatan Nasional ini. Pontjo Sutowo, dalam FGD Aliansi Nasional Kabinet Wakil Rakyat dan Pakar, Jumat (17/5/2024).
Ibnu Sutowo menilai hal tersebut merupakan hal yang lumrah akibat penerapan sistem pemerintahan presidensial dan sistem multi partai.
Potjo mengatakan, berdasarkan sejarah, kabinet-kabinet yang dibentuk pada awal kemerdekaan (1945-1950) seringkali berbasis pada koalisi partai politik, dan hanya sedikit yang berbasis kompetensi (zaken kabinet).
Beberapa kabinet zaken yang berdasarkan efisiensi/profesionalisme antara lain Kabinet Natsir (September 1950 – Maret 1951), Kabinet Wilopo (April 1952 – Juni 1953), dan yang terpenting Kabinet Djuanda (April 1957 – Juli 1959). ).
“Yang sebenarnya diterapkan pada masa pemerintahan Orde Baru adalah kabinet zaken berbasis kompetensi/profesionalisme, atau yang sering disebut dengan kabinet teknokratis. Walaupun Orde Baru mempunyai karakter politik yang represif-otoriter, namun kabinet teknokratis terbukti mampu bekerja secara efektif. Khususnya di bidang perekonomian,” tuturnya.
Namun yang diterima kembali sejak reformasi tahun 1998 hingga saat ini adalah penggabungan kabinet zaken dan kabinet koalisi partai politik.
Tipe kabinet yang akan dibentuk pada pemerintahan baru yang akan dibentuk pada Oktober 2024 ini akan bergantung pada visi Presiden Prabowo mengenai tantangan dan permasalahan utama yang dihadapi Indonesia saat ini dan masa depan.
Ketua Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI) ini menilai, masa pemerintahan Kabinet Prabowo akan menjadi lima tahun pertama Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Terbentuknya Kabinet Prabowo dalam Rancangan Akhir RPJPN 2025-2045 hendaknya membawa keberhasilan dalam memperkuat landasan transformasi menuju visi Indonesia Emas 2045 yaitu “Nusantara yang Berdaulat, Sejahtera, dan Berkelanjutan” seperti yang dicanangkan. .
Mengutip Draf Akhir RPJPN 2025-2045 yang diluncurkan Presiden Joko Widodo pada Juni 2023, ia menyatakan perubahan yang terjadi di dunia ini meliputi perkembangan demografi global, geopolitik dan geoekonomi, kemajuan teknologi, meningkatnya urbanisasi dunia, konstelasi perdagangan global. , tata kelola keuangan global, pertumbuhan kelas menengah, meningkatnya persaingan dalam penggunaan sumber daya alam, perubahan iklim dan penggunaan ruang.
“Sudah sepantasnya Kabinet Prabowo mengucurkan dana untuk bisa memperkuat landasan transformasi Indonesia menuju Indonesia Emas 2045 melalui tiga bidang perubahan – transformasi sosial, transformasi ekonomi, dan transformasi tata kelola – dalam lima tahun ke depan. Bappenas mengidentifikasi berbagai persoalan dalam Draf Akhir RPJPN “Perhatian serius diberikan terhadap kemungkinan tantangan dan peluang yang muncul akibat perubahan dunia,” ujarnya.
Salah satu perubahan dunia yang perlu diperhatikan oleh pemerintahan baru adalah meningkatnya persaingan dalam penggunaan sumber daya alam (SDA).
Perkembangan tersebut memerlukan perbaikan pengelolaan aset sumber daya alam kita yang selama ini bersifat “resource-based” dan eksploitatif, menuju pengelolaan melalui peningkatan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi.
“Upaya ini juga akan berkontribusi dalam mempercepat transformasi perekonomian Indonesia dari ekonomi berbasis sumber daya menjadi ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi,” ujarnya.