Polemik Revisi UU Penyiaran: PWI Pusat Cerita Suasana Kebatinan DPR Tentang Kemerdekaan Pers

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWD) Pusat Hendri Cho Bangun angkat bicara di lingkungan semangat DPR tentang kebebasan media terkait perdebatan revisi UU Penyiaran.

Ia mengatakan, selama lima tahun menjadi anggota Dewan Pers, ia kerap melakukan pertemuan dengan Komisi I DRP.

Menurutnya, suasana spiritual yang didapat dari anggota DRP dalam pertemuan-pertemuan tersebut adalah menentang kebebasan media.

Hal itu diungkapkannya pada diskusi umum IJTI bertema perubahan UU Penyiaran di Aula Dewan Pers Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Hendry mengatakan, “Lingkungan spiritual di DPRK jelas bertentangan dengan kebebasan media. Jelas sekali. Jadi misalnya ada 8 penanya setelah memberikan isu seperti itu, 7 harus mengkritik media.” Dikutip dari kanal YouTube KOMPASTV pada Rabu (15/5/2024).

Misalnya saja yang bilang: ‘Kendalikan pers, kenapa saya tidak bilang saya tidak suka cucu Jokowi?’ 

Dia enggan menyebutkan kelompok partai mana yang menyampaikan hal tersebut dalam pertemuan tersebut.

Namun, menurut Hendry, anggota DRP menganggap para jurnalis sudah keterlaluan.

“Enggak perlu sebutkan kelompoknya. Tapi kalau itu masyarakatnya, maka semua orang juga begitu. Cara mereka melihat kebebasan pers adalah media melangkah lebih jauh. Ya, itu lingkungan yang misterius,” ujarnya. .

Ia pun bercerita mengenai masa jabatan pertamanya sebagai anggota Dewan Pers pada tahun 2016 hingga 2019.

Hendry mengungkapkan, dirinya dan anggota Dewan Media lainnya dilobi oleh anggota DRP terkait gaji anggota Dewan Media.

Dia kemudian mengatakan bahwa dia ditekan untuk bekerja karena dia dibayar lebih.

“Saya periode pertama, 2016-2019, pas jam makan siang, kami didesak. Karena mereka bilang, ‘Dewan Pers berfungsi, kamu menyukainya.’ Lalu Stanley menjawab, ‘Kami tidak dibayar.’ disediakan oleh perusahaannya,” katanya.

Mendengar hal tersebut, anggota DRP mengutarakan keinginannya untuk menaikkan gaji sama dengan anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melalui amandemen undang-undang.

Diungkapkannya, saat itu gaji anggota Dewan Pers hampir lima kali lipat dibandingkan gaji Komisioner KP.

“Kami bilang, ‘Kami percaya teman-teman di Komisi I. Hancur begitu kami bawa ke sidang. Tentu harus banyak pasal selain menaikkan gaji anggota Dewan Pers, terutama izin, dan tes khusus dan sesuai,” ujarnya.

Jadi, mereka (anggota DRP) sangat ingin anggota Dewan Pers seperti PKI, kita yang memilihnya. Dan yang kita punya tentu kerjasama atau persahabatan antar partai, ujarnya.

Menurutnya, spiritualitas anggota DRP membuat komunitas media secara keseluruhan tidak mau mengubah undang-undang media.

“Enggak masuk akal. Kita masukkan 2 pasal, lalu keluar 12 pasal rencana DRP. Jadi menurut saya, ketika melihat peluang, saya berpikir, ‘Wah, RUU ini sedang dibahas.’ Itu adalah kesempatan kita “Kecil,” katanya.

Katanya, “Kata sopannya adalah mengendalikan, tapi benar-benar mengendalikan, mengendalikan lalu lintas saja, ada hikmahnya. Jadi spiritualitas ini juga akan berpengaruh.” Dewan Pers menolak

Berdasarkan pemberitaan sebelumnya, Ketua Dewan Pers Ninik Rahu mengatakan konstituennya dengan suara bulat menolak RUU Penyiaran (RUU) yang banyak digembar-gemborkan.

Ia mengkritisi penyusunan RUU Penyiaran karena tidak memuat UU Nomor 40 Tahun 1999.

“(Hal itu) mencerminkan belum termasuk kepentingan untuk menghasilkan jurnalisme yang baik sebagai produk periklanan yang dilakukan melalui jalur platform,” ujarnya di gedung Dewan Pers, Selasa (14/5/). 2024). Ketua Dewan Pers Nanik Rahu (Pusat) meminta pemerintah meningkatkan keamanan jurnalis. (Fersianus Waku)

Selain itu, ia juga menilai RUU Penyiaran berarti media tidak akan bebas, independen, dan tidak akan menghasilkan jurnalisme yang baik.

Dia berkata, “Dalam hal pemberitaan, Dewan Berita berpendapat bahwa jika perubahan ini terus berlanjut, beberapa kebijakannya akan mengubah media menjadi produk yang buruk, non-komersial, dan independen.”

Menurut dia, proses RUU UU Penyiaran melanggar Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang mengharuskan disusunnya peraturan yang harus mengandung makna partisipasi seutuhnya.

“Apa maksudnya? Partisipasi masyarakat, hak masyarakat untuk didengarkan, hak masyarakat untuk didengarkan,” ujarnya.

Ia mengatakan, dewan pers dan pemilih tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RUU Penyiaran.

Selain itu, ia juga menegaskan secara signifikan bahwa RUU Penyiaran bertentangan langsung dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Media Massa.

Sebab, lanjutnya, RUU Penyiaran mengatur pembatasan penyiaran konten jurnalisme investigatif eksklusif.

“Karena kita memang dengan UU 40 tidak lagi mengenal aturan, larangan, dan pelarangan iklan terhadap karya jurnalistik terbaik,” kata Ninick.

Lalu, adapun penyelesaian sengketa jurnalistik dalam RUU Penyiaran harus dilakukan oleh lembaga yang tidak mempunyai kewenangan menyelesaikan etos kerja jurnalistik.

“Hak pemberhentian kerja jurnalis adalah hak dewan pers dan itu tertuang dalam undang-undang,” kata Ninik.

Nanik mengimbau agar rancangan undang-undang tersebut perlu diharmonisasi agar tidak tumpang tindih.

Selain itu, kata dia, kebijakan penyelesaian sengketa media juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024.

Karena pemerintah hanya menyetujuinya, mengapa rancangan undang-undang tersebut mengamanatkan lembaga penyiaran untuk menyelesaikan perselisihan terkait jurnalisme? Diberikan? tambah Ninik. Tanggapan dari pimpinan DRP

Wakil Ketua DRP RI Divisi Partai Gerindra pun terungkap, Sufmidsko Ahmed mengkritik keras rancangan undang-undang kampanye tersebut.

Ia mengungkapkan, komisi pertama DRP juga telah meluangkan waktu untuk berkonsultasi dengan media.

Saya belum membacanya, kata Dasco di Kompleks Banez, Senayan, Jakarta, Selasa (14/5/2024).

Sekadar informasi, salah satu hal yang dikritik dalam RUU Penyiaran adalah pembatasan penyiaran yang hanya memuat konten jurnalistik investigatif.

Larangan ini tertuang dalam Pasal 50B ayat (2) RUU Penyiaran 27 Maret.

Dasco mengatakan, permasalahan tersebut masih dikonsultasikan ke Komisi DRP.

“Apa yang disampaikan tadi soal penyidikan, itu juga bukan sesuatu yang dijamin undang-undang? Mungkin kita akan berkonsultasi dengan teman-teman bagaimana caranya agar semuanya bisa diperbaiki, haknya tetap berjalan, tapi efeknya bisa dikurangi. .” Katanya, Selasa (14/5/2024) (Tribunnews.com/ Chaerul Umam), DRP RI Sufmidashko Ahmed di Kompleks Benggala.

Lebih lanjut dia mengatakan, seharusnya tidak ada larangan dalam RUU untuk mengiklankan jurnalisme eksklusif.

Namun, lanjutnya, menciptakan dampak dari tulisan unik ini juga penting

“Tidak boleh dilarang, tapi akibatnya bagaimana kita memikirkan agar tidak terjadi? Kadang tidak terjadi apa-apa kan? Ada yang hasil penelitiannya benar. Tapi ada juga yang Yang kemarin sudah cek. Setengahnya sudah lihat betul ya, makanya kita buat aturannya,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *