PKB Nonaktifkan Ayah Ronald Tannur dari Partai dan Fraksi di DPR: Kami Tak Menolerir

TRIBUNNEWS.COM – Fraksi PKB memastikan telah menonaktifkan Edward Tannur dari Fraksi DPR RI sekaligus partainya. 

Hal itu dilakukan PKB menanggapi kasus putranya, Ronald Tannur, yang menjadi tersangka kasus penganiayaan dan pembunuhan Dini Sera Afrianti. 

Ronald Tannur dibebaskan, meski Jaksa Agung (JPU) meminta anak anggota dewan itu divonis 12 tahun penjara. 

Penonaktifan Edward Tannur disampaikan Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKB, Heru Widodo saat rapat dengar pendapat dengan keluarga mendiang Dini di ruang rapat Komisi III DPR, Senayan, Jakarta , pada hari Senin. (29/7/2024). 

Saudara Edward Tannur sebagai saudara dinonaktifkan dari partai sekaligus dinonaktifkan dari Fraksi DPR RI, kata Heru, Senin. 

Heru mengatakan, pihaknya tidak menoleransi tindakan Ronald Tannur. 

PKB juga menegaskan tidak akan memberikan perlindungan, meski Ronald adalah anak pengurusnya. 

“Kami tidak akan memberikan toleransi kepada siapapun anggota DPR dari Partai PKB beserta keluarganya dan tidak akan pernah melindungi,” ujarnya. 

Heru menilai pembebasan Ronald Tannur aneh. 

Aneh sekali, tidak ada satu pun barang yang harus digunakan, kata Heru. 

“Di sana jelas ada unsur penganiayaan, bahkan berdasarkan hasil keterangannya, pelaku tidak berinisiatif membawa korban ke rumah sakit, aneh,” lanjutnya. 

Heru pun meminta Komisi Yudisial (KY) segera mengusut majelis hakim yang menangani kasus tersebut. 

Sebelumnya, KY mengaku sudah mulai menurunkan tim penyidik ​​untuk mengusut majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang membebaskan Ronald Tannur. 

Saya mendapat informasi dari tim penyidik, mereka turun dan melakukan penggeledahan. Mereka mulai mencari bukti-bukti, kata Juru Bicara KY Mukti Fajar Nur Dewanta, Jumat (26/7/2024) di Sapa Indonesia. Acara TV Malam Kompas. 

Sejumlah bukti dikumpulkan tim penyidik ​​KY, termasuk mengkaji catatan putusan hakim secara keseluruhan. 

Nantinya, bukti-bukti tersebut menjadi pintu masuk pengusutan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim yang memutus kasus Ronald Tannur. 

“Kami juga belum mendapatkan putusannya, putusan lengkapnya. Jadi kami belum bisa mempelajarinya secara menyeluruh,” ujarnya. 

“Ketika bukti-buktinya cukup dan kita telaah apakah putusan itu wajar atau tidak, logis atau tidak. Itu pintu masuk kemungkinan pelanggaran etik hakim,” tuturnya. 

Hakim Pengadilan Negeri Surabaya Erintuah Damanik yang memimpin sidang Ronald Tannur pun dikabarkan mendatangi Pengadilan Tinggi Surabaya, Jumat (26/7/2024). 

Namun Damanik tak merinci apa maksud permohonannya ke Pengadilan Tinggi Surabaya.  

Damanik tampak berjalan tergesa-gesa saat dilirik media.

Ditanya apakah dirinya datang untuk membenarkan keputusan Gregorius Ronald Tannur, dia membantah keras.

“Tidak, tidak ada panggilan dari Kejaksaan Tinggi. Saya datang hanya untuk kunjungan persahabatan,” kata Damanik sambil berlari menuju Kejaksaan Tinggi.

Ronald Tannur kemungkinan merupakan anak dari Edward Tannur, anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Nusa Tenggara Timur (NTT).

Ia dibebaskan hakim setelah divonis 12 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU). 

Alasan hakim membebaskan Ronald Tannur dalam kasus ini karena tidak ada bukti kuat yang membuktikan dia menyiksa Dini hingga tewas, seperti yang didakwakan jaksa.

Dalam putusannya, hakim juga menilai Ronald selalu berusaha membantu Dini di saat-saat kritis.

Hal ini didasarkan pada tindakan terdakwa yang membawa korban ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.

Selain itu, hakim menilai meninggalnya Dini bukan karena penganiayaan yang dilakukan Ronald, melainkan akibat korban minum-minum saat karaoke di Blackhole KTV Club Surabaya.

Alkohol, kata hakim, menyebabkan berkembangnya penyakit tertentu sehingga korban meninggal.

Kematian Dini bukan karena luka dalam di jantungnya. Melainkan karena penyakit lain akibat minum minuman beralkohol saat karaoke yang menjadi penyebab meninggalnya Dini, kata hakim, Kamis (25/7/2023). 

(Tribunnews.com/Milani Resti/Ashri Fadilla) (KompasTV)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *