TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) memimpin Rapat Pimpinan MPR RI yang digelar pada Kamis (16/5/2024).
Rapat tersebut menghasilkan beberapa keputusan, antara lain diadakannya rapat gabungan antara pimpinan MPR RI dan pimpinan kelompok DPR dan DPD pada 30 Mei 2024.
Selain itu, Rapim MPR juga memutuskan Rapat MPR akhir masa jabatan yang dihadiri seluruh anggota MPR mulai dari DPR dan DPD akan dilaksanakan pada 27 September 2024.
Beberapa hal yang akan dibahas antara lain perubahan Tata Tertib (Tatib) MPR RI, status hukum Pokok-Pokok Pemerintahan (PPHN), amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penyusunan Undang-Undang MPR, tata cara pelantikan presiden dan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden serta jenis keputusan MPR setelah amandemen UUD NRI Tahun 1945,” kata Bamsoet usai memimpin. sidang MPR bersama Majelis MPR. Kelompok Kajian MPR dan Komisi Kajian Konstitusi di Gedung DPR Jakarta.
Bamsoet menjelaskan, usulan perubahan undang-undang MPR mencakup 15 pasal dan 174 pasal penting dan wajib.
Perubahan substansial dengan mengubah kalimat pada beberapa bab atau paragraf dengan kekuatan dasar.
Hal ini antara lain menyangkut jenis-jenis keputusan, pelaksanaan wewenang dan tugas-tugas MPR.
“Perubahan Deklarasi tersebut dilakukan untuk memenuhi perubahan isi dan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dimaksudkan untuk menyempurnakan deklarasi agar sesuai dengan hukum bahasa Indonesia dan bahasa hukum. edisi 88,” kata Bamsoet.
Bamsoet mengatakan, perubahan peraturan perundang-undangan MPR selama ini terungkap dalam bentuk perintah pimpinan MPR RI setelah usulan perubahan disetujui dalam rapat gabungan MPR.
Berdasarkan temuan Kelompok Keahlian MPR, hal tersebut dinilai kurang tepat karena dilakukan perubahan terhadap peraturan yang sama atau lebih tinggi dari peraturan tersebut, dalam hal ini peraturan MPR berlaku pada Peraturan Tata Usaha MPR.
Oleh karena itu, disarankan agar proses hukum perubahan undang-undang MPR juga memuat peraturan MPR yang bersifat hukum (undang-undang) dan bukan petunjuk pimpinan MPR yang berdasarkan peraturan perundang-undangan. MPR dan diselenggarakan (beschikking) Permusyawaratan. . .
“Sebelum melakukan perubahan Kode Etik, hal pertama yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan Bab tentang Tata Cara Perubahan Kode Etik dan Bab tentang Tata Cara Pembentukan Panitia Khusus. antara pembentukan panitia khusus untuk mengevaluasi usulan perubahan konstitusi dan pembentukan panitia khusus untuk “mengkaji selain perubahan konstitusi, seperti perubahan atau pembuatan undang-undang baru,” kata Bamsoet.
Bamsoet menambahkan, Majelis Gabungan MPR akan membahas lebih lanjut apakah Mahkamah Agung MPR RI perlu dibentuk atau tidak.
Tim Penilai MPR berpendapat, karena MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD, maka setiap organisasi, DPR, dan DPD, mempunyai dewan atau badan kehormatan masing-masing.
Karena keadaan itu, Majelis Hakim menilai MPR tidak perlu lagi membentuk Mahkamah MPR yang terhormat.
Rapat gabungan juga akan membahas RUU MPR yang berbeda dengan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) serta PPHN. dan undang-undang MPR beserta rancangan rancangan PPHN dan undang-undang MPR untuk dilaksanakan pada MPR berikutnya,” pungkas Bamsoet.
Rapat tersebut juga dihadiri Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Amir Uskara, Syarifuddin Hasan dan Lestari Moerdijat, Ketua Badan Penyidik MPR Djarot Saiful Hidayat, Wakil Ketua Badan Penyidik MPR Agun Gunandjar Sudarsa dan Ajbar.
Turut hadir Ketua Komisi Konstitusi Daryatmo Mardiyanto, Wakil Ketua Rambe Kamarul Zaman, Martin Hutabarat, Dossy Iskandar Prasetyo, Masrifah dan Djamal Aziz.