TRIBUNNEWS.COM, Jakarta – Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Celestinus SH berpendapat, jika bicara reformasi 1998, maka sosok reformasi sebenarnya adalah Megawati Soekarnoputri.
“Kalau bicara reformasi, wajah reformasi sebenarnya adalah Ibu Megawati Soekarnoputri,” kata Petrus Celestinus, saat berbicara pada diskusi publik bertajuk “Kudatuli dan Masa Gelap Demokrasi: Refleksi Sabtu Kelabu, 27 Juli”. pembicara tamu. 1996″ Diselenggarakan Front Penyelamatan Reformasi Indonesia di Jalan Diponegoro No. 72 Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (28/7/2024).
Kudatuli merupakan akronim dari kerusuhan 27 Juli 1996 yang mengacu pada peristiwa pengambilalihan paksa kantor DPP Partai Demokrat Indonesia (PDI) pimpinan Megawati Soekarnoputri oleh massa PDI pimpinan Soerjadi yang dikemudikan aparat keamanan di Jalan Diponegoro No. . , 58 Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (27/7/1996) lalu.
Selain Petrus, hadir sebagai awak media pada diskusi publik tahun 1998 yang melibatkan mahasiswa, kader PDI Perjuangan dan ratusan aktivis tersebut adalah Ronald Mulia Sitoras, Firman Tendry, Dhiya Prakasha Yoedha, Bob Randillaway, Adil Fitri dan Marlin Dinamikanto dan dimoderatori oleh Irwin Osman telah melakukan. Merupakan pemeran dalam cerita Reformasi tahun 1998.
Petrus dengan TPDI-nya merupakan pihak yang memberikan pendampingan dan advokasi kepada Megawati dalam melakukan “tindakan hukum” (legal action) terhadap kekuasaan otoriter rezim Orde Baru sejak tahun 1996 hingga jatuhnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.
Peter kemudian menantang mahasiswa, aktivis 1998, dan PDIP untuk menggulingkan Presiden Joko Widodo melalui Reformasi Jilid II. – Bukan reformasi, tapi revolusi – kata Firman Tendri.
Menurut Petrus, perjuangan mengakhiri pemerintahan otoriter Orde Baru di bawah rezim Soeharto yang dimulai pada tahun 1996 dan berujung pada lahirnya reformasi tahun 1998 merupakan hasil perlawanan rakyat terhadap Megawati yang dipicu oleh dua peristiwa hukum dan politik. . , Dan dengan ini, Soeharto pun mengundurkan diri dari jabatan Presiden pada 21 Mei 1998.
Dua peristiwa hukum dan politik yang sangat penting dalam sejarah negara yang mendahului dan mengiringi perjuangan reformasi adalah, pertama, rekayasa Orde Baru/Soeharto yang menimbulkan dualisme kepengurusan PDI melalui Kongres PDI di Medan, Sumatera Utara, 21-22 Juni 1996, yang mengukuhkan Soerzadi sebagai Ketua Umum PDI dan didukung oleh Soeharto. Kedua, pada tanggal 27 Juli 1996, PDI Megawati diserang dengan kekerasan berdarah dengan menggunakan aparat TNI dan preman. Penangkapan paksa tersebut mengakibatkan peristiwa Kudatuli sebagai tindak lanjutnya. hingga kongres PDI di Medan,” jelasnya.
Kemudian Peter menyarankan agar tanggal 27 Juli dijadikan hari libur nasional, yakni Hari Reformasi. “Jika pada tanggal 17 Agustus 1945 kita merayakan Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia, karena Indonesia telah terbebas dari penjajahan Belanda, maka tanggal 27 Juli 1996 hendaknya dijadikan hari libur nasional sebagai Hari Reformasi, karena peristiwa Gerakan 27 Juli 1996 Hari Reformasi. Meningkatnya perlawanan rakyat terhadap penjajahan yang dipimpin bangsa yaitu Orde Baru dan Soeharto, dimana kita terbebas dari rasa takut, terbebas dari belenggu nalar selama 32 tahun dan melawan Bangkit, hingga lahirlah reformasi pada bulan Mei. 21 Tahun 1998,” jelasnya.
Pilih “Tindakan Hukum”
Pendapat Peter, Megawati menggugat medan pertempuran melalui “tindakan hukum” (legal action) pada bulan Juli 1996, melawan rekayasa politik orde baru berupa Kongres PDI Medan dan peristiwa 27 Juli 1996. Jatuhnya Orde Baru Rezim Orde pada 21 Mei 1998 patut dijadikan tonggak sejarah perjuangan rakyat yang mengekspos para penjajah yaitu diktator Orde Baru dan Soeharto.
Karena berbagai peristiwa yang terjadi dalam perjuangan rakyat pada bulan Juni 1996 sampai dengan Mei 1998, yang diiringi dan disusul, merupakan peristiwa hukum yang sangat penting bagi negara merdeka dan kehidupan masyarakat, karena peristiwa-peristiwa tersebut secara mendasar mengubah sistem yang ada.” Menurut Panchashila dan UUD 1945, kekuasaan dalam sistem demokrasi bersifat otoriter dan tidak demokratis,” jelasnya.
Peter menilai tragedi 27 Juli 1996 merupakan puncak gunung es ketika dimulainya perlawanan masyarakat terhadap Megawati, dimulai dari kegiatan “mimbar bebas” di halaman kantor DPP PDI yang secara terbuka dan konstitusional disebut sebagai bentuk Waspada. selesai di. Kebebasan. Sebuah gerakan untuk menyuarakan pendapat masyarakat dan mendidik masyarakat agar berani melawan kolonialisme di bawah kepemimpinan bangsa.
“Gerakan Mimbar Merdeka secara damai menabuh genderang perang melawan rezim otoriter Orde Baru, antara lain dengan berbagai tindakan hukum di pengadilan, memobilisasi opini publik melalui kekuatan media massa pro demokrasi, dan dukungan dari tingkat akar rumput,” dia menjelaskan.
Peter kembali menyerukan kepada mahasiswa, ratusan aktivis 1998, dan kader PDIP yang ditunjuk untuk menggulingkan Presiden Yaakov.
“Kita hanya membutuhkan waktu dua tahun untuk menggulingkan Soeharto. Pada tanggal 21 Mei 1998, kekuatan perlawanan rakyat berhasil menggulingkan Soeharto dengan seluruh kekuatan politiknya yang sejak awal sudah mundur. Megawati ditunjuk memimpin perlawanan politik melawan Pemerintahan Baru. Tatanan dan rezim otoritarian Soeharto melalui tindakan hukum, dan “tindakan hukum tersebut efektif berhasil memperkuat kekuasaan Rakyat Bersatu, tidak hanya Soeharto dan kawan-kawan yang mengakhiri kekuasaan otoriter kawan-kawan, namun juga efektif berhasil mematikan ambisi Soeharto untuk menjadi Presiden bagi panjang,” katanya.
“Perlawanan rakyat bersama Megawati terhadap rezim otoriter Orde Baru dengan kekuatan dan kekuasaan yang sangat besar, di luar dugaan akal sehat atau nalar masyarakat, menunjukkan bahwa rakyat berhasil menghilangkan segala ambisi Soeharto dan rezim tirani tersebut, yang karenanya puluhan tahun telah menjajah rakyat dalam berbagai aspek kehidupan (ekonomi, hukum, politik, dan demokrasi), sebagaimana dikatakan Bang Karno bahwa perjuangan akan lebih sulit jika bangsanya sendiri yang dijajah oleh Soeharto dan Orde Barunya dilawan masyarakat karena praktik pemerintahan otoriter selalu menjadi senjata utama untuk membungkam “kebebasan berserikat dan berkumpul, bahkan hak asasi manusia (HAM)”. “Tokoh politik harus mengalami kematian sipil semasa hidupnya,” tambahnya.
Naif sekali kita, lanjut Petrus, jika peristiwa 27 Juli 1996 dianggap sebagai peristiwa lokal, sporadis, temporer, yang tiba-tiba muncul dan hilang tergantung kepentingan.
Namun tidak demikian, karena peristiwa 27 Juli 1996 merupakan puncak gunung es yang berujung pada reformasi 21 Mei 1998. Megawati dengan sejarah panjang politik otoriter akibat Orde Baru dan rezim Soeharto sentimen, kemarahan dan kebingungan Faktanya, yang terjadi adalah seluruh ambisi Soeharto untuk menjadi presiden seumur hidup gagal total, katanya.
Dinamika perjalanan politik PDI dan eksistensi Megawati menjelang Kongres PDI di Medan tahun 1996 serta beberapa peristiwa politik di PDI menjadi catatan penting Soeharto dan Orde Baru berpindah dari satu strategi ke strategi lainnya dari waktu ke waktu, sehingga aktivitas politik tersebut dapat dicegah, dibatasi bahkan dibubarkan dengan segala cara, termasuk menggunakan kekuasaan Abri dan Kementerian Dalam Negeri sebagai alat represif untuk menjatuhkan berbagai sanksi terhadap Magawati yang melakukan intrik politik, bahkan sekedar intrik politik. tidak boleh memegang kantor untuk menjalankan PDI atau kegiatan sosial lainnya,” ujarnya.
“Jika saat ini kita berhadapan langsung dengan Presiden Jokowi untuk melawan kebijakan politiknya yang jauh dari cita-cita reformasi, seperti yang dibuktikan oleh opini publik dan fakta sosial serta fakta hukum, maka pertanyaannya adalah apakah kita perlu dan mampu melaksanakannya. ini. Perjuangan reformasi, Jilid II, untuk menyelamatkan negara dari kehancuran sistem hukum dan demokrasi?” tanya Petrus.
“Jika masyarakat akar rumput bersama Megawati dan kita semua bersatu melawan kekuasaan Orde Baru yang berkuasa di bawah Soeharto pada tahun 1996–1998, kita berhasil menggulingkannya dengan cara konstitusional, maka upaya penyelamatan demokrasi dan Konstitusi terancam runtuh. berbeda dan berpotensi mengembalikan sistem otoriter orde baru di bawah kendali Presiden Jokowi, tidak bisakah kita melakukan Reformasi Jilid II?” Dia menambahkan.
Padahal, tegas Peters, saat ini Presiden Yokovi sudah berada di ujung masa kekuasaannya karena ia akan meninggalkan jabatannya dalam dua bulan ke depan sehingga tidak memiliki akar yang kuat di partai politik mana pun dan tidak memiliki akar di kalangan masyarakat bawah.
“Jadi secara kalkulasi dan rasionalitas politik, masyarakat meyakini bahwa peluang untuk menyelamatkan reformasi terbuka lebar dan mari kita ajak PDIP untuk bersama-sama rakyat menyelamatkan kembali reformasi tersebut. menggulingkan Presiden Jokowi,” ujarnya.