Laporan Jurnalis Tribunnews.com Indrapta Pramodias
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di kisaran 5 persen, menurut Economic and Financial Development Institute (INDEF).
Ambisi Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen pada tahun 2024-2029 juga patut dipertanyakan.
“Apakah target tersebut realistis atau dapat dicapai atau tidak,” kata Esther Sri Astuti, Direktur Eksekutif INDEF. Dalam pesan online. Kamis (9/12/2024) diskusi bertajuk “Ketat Moneter dan Fiskal serta Lemahnya Daya Beli”.
Dalam pemaparannya, Esther mengatakan perlu banyak upaya untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Kapasitas fiskal harus diperluas melalui peningkatan pendapatan pemerintah dan alokasi anggaran yang bijaksana. Sayangnya, mengacu pada data Kementerian Keuangan, Esther mengatakan, sejak tahun 1972 hingga 2023, tarif pajak cenderung menurun dan menurun.
Terakhir, pada tahun 2023, tarif pajak Indonesia akan mencapai 10,31%, meskipun sangat tinggi pada tahun 1970 hingga 1990.
Pada periode tersebut, pertumbuhan ekonomi mencapai sekitar 20 persen, dan tingkat tertingginya sekitar 22 persen pada tahun 1982. “Kemudian tahun 1990 persentasenya sekitar 19 persen dan tahun 2001 sekitar 16 persen,” kata Esther.
Terkait penerimaan pajak, Esther mengatakan, sejak Jokowi menjabat presiden pada 2014, target penerimaan pajak baru tercapai pada tahun 2021, 2022, dan 2023.
Hal ini juga disebabkan oleh kenaikan harga komoditas, khususnya minyak sawit, yang mempengaruhi penerimaan pajak.
“Pendapatan pajak, yaitu pendapatan pemerintah, relatif rendah dan kini hanya mewakili 10 persen PDB,” kata Esther.
Belanja modal RI juga lebih rendah dibandingkan belanja rata-rata, ujarnya. Artinya belanja modal (belanja pembangunan) harusnya lebih tinggi dibandingkan belanja umum, padahal justru sebaliknya, kata Esther.
Selain itu, utang Indonesia tergolong tinggi dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 38 persen.
Esther dalam pemaparannya mengatakan, rasio utang terhadap PDB tidak bisa dinaikkan hingga 50% karena kemampuan keuangan yang kecil.
“Jika kita melihat pemerintahan Jokowi dalam 10 tahun terakhir, utangnya meningkat tiga kali lipat,” “Investasi bukan teman penciptaan lapangan kerja.”