“Sebelum meninggal, ayah saya berpesan kepada saya, ‘Tanah milikmu sekarang akan menjadi milikmu sampai kamu mempunyai anak dan cucu.’ Orang tuanya, Hendricks Woro, warga suku Oyo di Papua, menceritakan kepada DW Indonesia melalui telepon.
Hendrikus bersama aktivis lingkungan suku Awyu lainnya berjuang untuk mencabut izin perusahaan sawit yang beroperasi di kawasan hutan. Pertumbuhan industri kelapa sawit di Papua telah meresahkan masyarakat yang menggantungkan penghidupannya pada sumber daya alam hutan.
“Makanan kami akan habis, kehidupan seperti gaharu akan hilang, ada burung cendrawasih, ada berbagai macam uang yang bisa dihasilkan seperti gambir, kulit gada, dan obat-obatan, kami takut jika kami diusir semuanya akan berakhir. Dan “tujuannya menanam satu pohon saja, yaitu pohon minyak,” kata Hendrikus.
Ayo, berlangganan buletin mingguan Wednesday Byte gratis. Tambahkan juga pengetahuanmu selama seminggu, agar topik diskusi semakin menarik!
Hendrikus Woro mengajukan permohonan kepada Pemerintah Provinsi Papua untuk menerbitkan kemungkinan izin lingkungan kepada PT Indo Asiana Lestari (PT IAL). PT IAL memiliki izin lingkungan seluas 36.094 hektare atau lebih dari separuh wilayah DKI Jakarta dan berlokasi di kawasan Hutan Suku Woru yang merupakan bagian dari suku Awyu. Izin tersebut dikeluarkan pada tahun 2021. Masyarakat setempat sepakat bahwa mereka tidak terkena dampaknya
Hendrikus mengatakan, masyarakat tidak mengambil tindakan apa pun dalam menyiapkan dokumen lingkungan hidup dan izin kerja. Tiba-tiba, perusahaan tersebut mendapat izin di kawasan hutannya.
Hal serupa juga diungkapkan Tagore Hatpiya, anggota tim kuasa hukum suku Ayu dan suku Moi.
“Masyarakat komunitasnya tidak tahu ada atau tidaknya izin di wilayahnya. Kami kirimkan permohonan pada tahun 2022 untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa ada izin. Saat masyarakat sekitar mengetahuinya, mereka sangat terkejut. Akhirnya memutuskan . untuk menentang izin tersebut pada tahun 2023,” kata Tagore.
Meski PT IAL belum resmi beroperasi, namun deforestasi dan ancaman terhadap kehidupan suku-suku tersebut cukup tinggi. Sebab, sudah ada beberapa perusahaan yang sudah menggarap hutan Papua.
“Papua merupakan hutan terakhir dengan dataran terluas khususnya di Indonesia. Merupakan tanggung jawab pemerintah untuk melindungi hutan terakhir ini. Namun hutan yang terakhir ini bukan sekedar hutan saja, ada masyarakat yang telah melestarikan hutan ini secara turun temurun. Pemerintah tidak boleh mengabaikan keberadaan mereka,” kata Tagore. Bisakah Mahkamah Agung menjadi landasan keadilan bagi orang-orang ini?
Tak hanya suku Awyu di Papua bagian selatan, suku Moi di barat daya Papua juga mengajukan gugatan terhadap pemerintah dan perusahaan sawit. Pada 27 Mei 2024, sejumlah perwakilan suku Awyu dan suku Moi mendatangi Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta Pusat.
Kasus mereka kini telah mencapai klimaks. Dengan mengenakan pakaian adat sukunya, mereka melaksanakan salat dan Idul Fitri di depan Gedung Mahkamah Agung dengan harapan Mahkamah Agung akan memberikan keputusan hukum yang menguntungkan mereka.
Suku Moi melakukan perlawanan terhadap PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang diberikan izin pemanfaatan hutan adat suku Moi seluas 18.160 hektar untuk perkebunan kelapa sawit.
Pengadilan Tinggi yang sama telah menerbitkan Perma No. 1 Tahun 2023 yang berisi pedoman dalam mengadili perkara lingkungan hidup. Ini adalah alat penting untuk melaksanakan keputusan restorasi lingkungan.
“Kami ingin melihat apakah Mahkamah Agung akan mengikuti prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam kasus ini dan kasus lingkungan hidup lainnya. Jika undang-undang ini dipatuhi, kami yakin akan ada keadilan bagi para aktivis lingkungan hidup yang saat ini sedang berjuang.” Untuk mendapatkan suasana yang nyaman,” kata Tagore.
Kasus Mahkamah Agung menjadi satu-satunya harapan bagi Hendrix dan masyarakat untuk menjaga hutan adatnya.
“Kami telah bergerak maju dengan rasa hormat, jadi kami berharap tidak ada jalan lain. Mahkamah Agung, seperti orang tua kami – kami tahu bahwa pemerintah dapat mengatur kami dengan baik dan kemudian bergerak maju dengan rasa hormat.” untuk tumbuh. menghapus dan membawa kembali tradisi kita ke tanah air sehingga kita bisa hidup damai dan harmonis dalam budaya kita,” kata Hendrix kepada DW Indonesia melalui telepon.
PT Indo Asiana Listari menolak mengomentari laporan tersebut saat dihubungi DW Indonesia melalui telepon. “Ketika kuburan nenek moyang kita dirusak, kita salahkan mereka”
Sebagai sumber kehidupan, hutan purba Papua merupakan kekayaan keanekaragaman hayati. Salah satunya adalah sagu. Selain menjadi pangan berkelanjutan, daun sagu dapat dijadikan bahan atap. Bahkan daun sagu pun bisa dimanfaatkan seperti rebung dan garam papua.
Katanya hanya pohon sagu saja yang banyak manfaatnya, hanya pohon nibang saja yang banyak manfaatnya, ini hanya dua pohon dan yang lainnya tidak ada nilainya, makanya kita bilang tanah dan hutan adat adalah sumber kehidupan kita. Hendrix.
Selain itu, pemilik lahan juga khawatir sumber air akan tercemar.
“Airnya rusak karena kami tidak membuang air ke hutan sendiri. Air hutan mirip dengan air kemasan yang biasa diminum tanpa direbus. Langsung saja diminum. Sejujurnya,” lanjut Hendrix.
“Sesungguhnya kami takut jika semua tulangnya kami cabut, maka makam nenek moyang kami yang ada sebelum kami semua akan roboh.” Dan ini berarti kita telah berdosa karena (warisan mereka mempunyai tempat yang penting); Tempatnya yang lama,” jelas Hendricks. Tidak ada budaya hutan di wilayah suku Awyu
Menurut statistik Kementerian Sumber Daya Alam dan Kehutanan (KLHK), luas wilayah yang dapat dijadikan hutan adat di Papua sekitar 3,732 juta hektar, dengan hutan lindung (HK) 22,51%, hutan lindung (HL) 32,49%. (HP) 41,86%, Areal Penggunaan Lain (APL)/Perairan 3,14%. Wilayah ini meliputi Kabupaten Kemana, Mebarat, Kabupaten/Kota Sorong, Tambrao, Teluk Bintuni, Ismat, Jayapran dan Mamika.
“Batas-batas pasti kawasan adat ini tidak diberi tanda dengan baik, jadi ini pertanda. Kami mendapat informasi awal, setidaknya ada 7 perusahaan di bidang kehutanan yang terindikasi melintasi hutan adat sedang melintasi atau melintasi. Luasnya sekitar 62 hektar,” kata Direktur Pengelolaan Konflik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Tenoril, dan Hutan Adat, Muhammad Saeed, kepada DW Indonesia.
Areal yang dapat dijadikan hutan adat ditunjukkan sesuai dengan 7 Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yaitu PT Asco Prima Nusantara, PT Bangun Kayu Irian, PT Damai Setiatama Timber, PT Nusantara Sago Prima, PT Papua Satya Kencana, PT Rimbakayu. Arthamas, dan PT Hanurata unit Jayapura dengan luas kurang lebih 62.585 hektar.
Kalau soal hutan, peran KLHK adalah memajukan hutan, yang menjagalah yang berhak menjaganya,” ujarnya.
Pada tahun 2022, Kementerian Sumber Daya Alam dan Kehutanan akan membatalkan keputusan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan tiga perusahaan, yakni perkebunan PT Megakarya Jaya Raya (MJR) dan PT Karthika Septa Prathama (KCP). Berkonflik dengan orang Oyu di Ka’b. Boven Digoel, serta peternakan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang berjuang melawan masyarakat Moi di Kabupaten/Kota Sorong.
Dengan cara ini, perkebunan ketiga perusahaan tersebut diubah menjadi hutan negara. Kementerian LHK mengakui hal ini dalam proses penghormatan terhadap wilayah tempat tinggal masyarakat Moi. Selain itu, di wilayah tempat tinggal masyarakat Awyu, kata Kementerian Sumber Daya Alam dan Kehutanan, menunggu semua informasi seperti peta wilayah untuk dianalisis sebagai hutan adat.
“Apa konsekuensi dari konversi kawasan tersebut menjadi hutan yang diakui?” Kuatkanlah (tempatnya). “Sekarang perusahaan termohon tidak bisa mendaftar ulang, tidak bisa masuk kembali tanpa persetujuan warga,” ujarnya.
“Kalau perusahaannya sudah ada, lalu kawasannya jadi bagian hutan, baru Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memutuskan suka atau tidak, suka tidak, cocok untuk dikembangkan. Harus berubah. perilaku Anda. dari rencana tersebut. Sistem yang ada di toko mereka saat ini,” ujarnya.
Masyarakat lokal mempunyai hak untuk mengelola kawasan yang ditetapkan sebagai hutan adat.
Kendati demikian, Pak Tigor Hutapea selaku anggota tim kuasa hukum Suku Awyu dan Suku Moi berpendapat sebaiknya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terlebih dahulu melakukan pendataan dan verifikasi kondisi tanah dan hutan Papua. Sebab, selama belum ada pengakuan hukum atas hutan adat tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih bisa menjual kawasan hutan kepada perusahaan.
Oleh karena itu, sebelum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau pemerintah mengeluarkan izin pada suatu kawasan yang ada, sebaiknya (terlebih dahulu) memastikan apakah lahan tersebut milik masyarakat setempat atau bukan. Kalau tidak terjadi makanya terjadi konflik,” ujarnya. kata Tagore kepada DW Indonesia. Di Papua, 12,9 juta hektar hutan terancam deforestasi
Greenpeace Indonesia mengungkapkan total luas hutan Papua mencapai 12,991 juta hektar. 6,78 juta hektar di Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), 4,05 juta hektar di Kawasan Hutan Produksi (HP), dan 2,15 juta hektar di Kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK). Kawasan ini merupakan hutan dengan risiko deforestasi yang tinggi.
“Apa yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa deforestasi itu legal ya, tapi harus dilakukan di seluruh tanah air. Papua yang kini tersebar di 6 provinsi, memiliki sekitar 12,9 juta hektar hutan di berbagai wilayah. Perlu adanya perubahan. , itu hanya kelapa sawit,” kata Sekar Banjaran Ajayi, juru kampanye hutan di Greenpeace Indonesia.
Ada lebih dari 250 spesies di Papua Hutan Papua dianggap sebagai pilihan terakhir tidak hanya bagi masyarakat Papua, tetapi juga bagi masyarakat Indonesia untuk memerangi perubahan iklim.
“Kita tidak punya banyak waktu untuk menyelamatkan diri dari kehancuran akibat panas.” Hutan Papua adalah solusi terakhir untuk mengatasi masalah iklim kita saat ini. Jadi kalau melihat waktu, kita tidak bisa bersaing. Apa yang terjadi di Papua “Hari ini sama saja dengan yang terjadi di Kalimantan atau Sumatera, kita tidak mengalami cuaca seperti itu,” tambah Sekar.
Ketika semakin banyak hutan yang ditebang untuk lokasi industri, maka jumlah gas rumah kaca yang dihasilkan akan sangat besar. Singkatnya, ketika hutan dirusak, lebih banyak karbon akan dilepaskan ke atmosfer, dan proses tersebut akan menyebabkan planet menjadi hangat.
“Sebaliknya, kita tidak boleh ragu untuk memberikan hak kepada masyarakat untuk mengelola hutannya dan hari ini kita yakin bahwa kita masih bisa mendapatkan keadilan bagi masyarakat Papua, keadilan adalah yang kita inginkan.” menjadi hijau. Dan lindungi kita dari dampak iklim,” pungkas Sekar.
(batu)