TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Apa maksud dari gambar Garuda berlatar belakang biru yang sedang viral di media sosial?
Sejak Rabu sore (21/8/2024), netizen Tanah Air ramai membagikan gambar Garuda berlatar belakang biru di media sosial, baik Twitter maupun Instagram.
Gambar tersebut dikaitkan dengan tagar #KawalPutusanMK yang menjadi trending topic X Indonesia.
Hal itu merupakan bentuk protes masyarakat terhadap pemerintah.
Foto Neele Garuda awalnya dibagikan di Instagram oleh akun pendukung @narasinewsroom, @najwashihab, @matanajwa, dan @narasi.tv.
Gambar tersebut hanya menampilkan gambar elang dengan latar belakang biru tua.
‘Peringatan Darurat’ tertulis di sana.
Siaga darurat mengacu pada seruan pengawasan bersama terhadap pelaksanaan pemilihan umum daerah (Pilcada) tahun 2024.
Dimulai dari putusan Mahkamah Konstitusi (MC) pada Selasa (20/8/2024) yang menyatakan Partai Politik (Parpol) tidak membutuhkan kursi di DPRD untuk mengusung calon kepala daerah.
Sehari kemudian, Rabu (21/8/2024), DPR memutuskan menggelar rapat pembahasan perubahan Undang-Undang (UU) Pilkada.
Ada pihak yang menilai perubahan UU Pilkada dimaksudkan untuk mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi.
Gambar dan video “Peringatan Darurat” dikatakan sebagai analogi menakutkan yang digunakan dalam acara televisi tahun 1980an dan 1990an.
Video biasa disebut dengan “Emergency Alert System” (EAS) yang digunakan di luar negeri, seperti Jepang.
Transmisi EAS digunakan untuk peringatan darurat bencana alam, seperti gempa bumi atau tsunami yang akan terjadi.
Luas
Gerakan “Siaga Darurat” pecah di platform “X”, ketika banyak artis dan musisi memperhatikan suhu politik di negara tersebut.
Mulai dari komedian Pandji Pragiwaksono hingga musisi Fiersa Besari pun turut mengunggah gambar “Siaga Darurat”.
Bahkan, gerakan tersebut juga direspon oleh komunitas pecinta sepak bola Indonesia, seperti komunitas Brajamusti Gadjah Mada, suporter PSIM Yogyakarta, dan lain-lain.
Brajamusti Gadja Mada juga mengangkat gambar “siaga darurat” untuk mengungkapkan keprihatinannya terhadap keadaan politik Indonesia.
“Sebagai komunitas pecinta klub sepak bola, peringatan darurat mungkin bukan kapasitas kita untuk berbicara terlalu banyak. Namun hak dan tanggung jawab kita sebagai warga negara Indonesia untuk tidak tinggal diam dalam situasi seperti ini,” tulis @brajgama_.
Kontroversi aturan pemilu daerah
Seperti diketahui, ambang batas pencalonan gubernur Jakarta akan sangat berkurang setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan perubahan ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024.
Awalnya, permohonan tersebut diajukan oleh Partai Buruh dan Gelora.
Keputusan hasil proses tersebut memberikan harapan baru bagi pencalonan gubernur Jakarta yang sebelumnya menuai kontroversi akibat “pembelian tiket” yang dilakukan Aliansi Indonesia Maju (KIM).
Dengan perubahan ini, semakin banyak partai politik yang dapat mengajukan calon gubernur dengan modal suara yang lebih sedikit.
Hal ini tentu membuka peluang bagi sosok-sosok baru di kompetisi Pilkada DKI Jakarta.
Namun sehari setelah putusan tersebut, DPR dan pemerintah langsung menggelar pertemuan membahas perubahan UU Pilkada.
Para ahli menambahkan komentar
Feri Ansari, pakar hukum tata negara, turut mengomentari kontroversi aturan pencalonan kepala daerah.
Menurut Perry, keputusan Badan Legislasi (Bleg) DPR yang membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi tentang ambang batas pencalonan di Pilkada sama saja dengan menunjukkan bahwa DPR menentang putusan Mahkamah Konstitusi (MC).
“Tentu saja kami menentang, karena sudah jelas dalam Keputusan Nomor 60 dan 70 tentang syarat dan partai yang dapat mengusung calon berorientasi daerah, serta syarat usia calon berorientasi daerah telah diubah oleh DPR dan pemerintah,” kata Ferry, Rabu (21/8/2024).
Ferri menilai keputusan Beleg merupakan siasat DPR yang kesal dengan keputusan Mahkamah Konstitusi.
“Jadi itu memang tipuan DPR, karena itu permainan politik mereka.”
“Lanskap mereka terusik dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang luar biasa dalam memperbaiki keadaan,” jelas Ferrie.
Perry lantas membandingkan posisi anggota DPR pada putusan MK sebelumnya dengan saat ini.
“Dulu mereka mengatakan harus menerima keputusan Mahkamah Konstitusi tentang perubahan persyaratan usia calon presiden dan wakil presiden.”
“Mereka tidak menyebutkan bahwa itu adalah upaya untuk melemahkan dewan dan sebagainya,” kata Ferry.
Namun kini, kata Perry, sikap DPR justru sebaliknya.
“Mereka merasa kepentingan politik mereka dihambat, dan mereka mengambil langkah luar biasa dengan menghancurkan berbagai sistem.”
“Dan hal ini merupakan kerugian konstitusional yang sangat besar di depan mata kita,” kata Ferrie.