Wartawan Tribunnews.com, Rizki Sandi Spotra melaporkan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Presiden (Wapres) Maruf Amin menanggapi usulan Ketua Mahkamah Konstitusi (KJ) Suhartoya yang menyebut UU Pemilu perlu diperbaiki atau direvisi.
Menanggapi hal tersebut, Maruf mengatakan, sebenarnya catatan yang diberikan MK telah menjadi kepentingan pemerintah bersama RIDPR.
“Ya saya kira kita patut khawatir dengan ucapan Mahkamah Konstitusi tersebut,” kata Wapres kepada awak media saat ditemui di sebuah hotel di Bandung, Jawa Barat, Rabu (24/04/2024).
Oleh karena itu, menurut Marif, anggota DĽR RI harusnya mendapat kesempatan untuk memperhatikan masukan Mahkamah Konstitusi pada periode berikutnya.
Ia mengatakan, dengan kepemimpinan ke depan, seharusnya anggota DPRRI bisa melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Nanti DPR berikutnya juga harus mengkodifikasikan pernyataan tersebut ke dalam peraturan, agar bisa diselesaikan agar tidak ambigu lagi, ujarnya.
Oleh karena itu, kata Maruf Amin, tidak akan ada catatan ketidakpatuhan terhadap hukum dalam proses demokrasi ke depan, khususnya pemilihan presiden.
“Saat itu belum ada peraturan dan sebagainya. Jadi kita berharap catatan yang ada nanti bisa ditindaklanjuti,” kata Wapres.
Ketua Mahkamah Konstitusi (CJ) Suharto sebelumnya mengatakan masih banyak celah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Ucapan tersebut disampaikan Soeharto saat membacakan argumentasi keputusan yang diajukan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1 Inis Basvidan-Mohimeen Iskandar.
Soeharto menegaskan, kelemahan ini membuat Boasla sulit bertindak jika terjadi pelanggaran pemilu.
Sehingga menghambat upaya penyelenggara pemilu dalam menindak pelanggaran pemilu, khususnya Bawasala, kata Suhartoyo di ruang sidang Mahkamah Konstitusi RI di Jakarta, Senin (22/04/2024).
Suharto menjelaskan, undang-undang pemilu belum memberikan pengaturan mengenai kegiatan yang dapat digolongkan pengaruh sebelum dan sesudah dimulainya masa kampanye.
Padahal, lanjutnya, Pasal 283 ayat 1 UU Pemilu menyebutkan pegawai negeri, pegawai struktural, dan pejabat fungsional di bidang pekerjaan negara, serta ASN, dilarang melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pemilu terhadap peserta sebelum dan sesudah. Pemilu. masa kampanye.
Namun pasal-pasal UU Pemilu berikut ini tidak memuat aturan mengenai berkampanye sebelum atau sesudah kampanye pemilu berakhir, ujarnya.
Suharto mengatakan, ketiadaan aturan tersebut membuat pelanggaran pemilu bisa lepas dari jeratan hukum atau sanksi administratif.
Oleh karena itu, menurut MK, sebaiknya DLR dan pemerintah berperan sebagai legislator saat melakukan revisi UU Pemilu.
“Untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam penyelenggaraan pemilu dan pemilu presiden daerah di masa depan, pemerintah dan DLR harus memperbaiki undang-undang pemilu dan pemilu daerah di masa depan,” kata pengadilan. Dia menambahkan. Dalam hal terjadi pelanggaran pidana terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang mengatur kampanye, administrasi, dan bila perlu undang-undang pemilu,” tutupnya.