TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota III Badan Pengawasan Keuangan (BPK) nonaktif, Achsanul Qosasi bersedia menyewa kamar di Hotel Grand Hyatt Jakarta.
Kedua kamar itu berharga 3 juta dolar per malam.
Achsanul Qosasi siap menerima suap sebesar Rp 40 miliar.
Sayangnya salah satu ruangan hanya digunakan untuk buang air kecil dan tidak ada tempat duduk.
Kasus ini mencuat saat terdakwa Sadikin Rusli memberikan keterangannya dalam sidang lanjutan kasus konfirmasi BTS 4G BAKTI Kominfo yang digelar Jaksa Agung di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (14/5/2024).
Sadikin dan Achsanul dalam kasus ini didakwa menerima suap sebesar Rp 40 miliar.
Uang suap tersebut berasal dari Komisaris PT Solitech Media Sinergy Irwan Hermawan melalui Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera Windi Purnama.
Direktur BAKTI Kominfo saat itu Anang Achmad Latif meminta kedua orang tersebut menyiapkan uang sebesar 40 miliar usai bertemu dengan Achsanul Qosasi.
Uang tersebut kemudian diserahkan kepada Sadikin Rusli yang diutus Achsanul untuk menemui Windi Purnama pada 19 Juli 2022 di sebuah kafe di Hotel Grand Hyatt Jakarta.
Pertama, Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri memeriksa Sadikin saat menawarkan suap sebesar Rp 40 miliar kepada Achsanul setelah menerimanya dari Windi Purnama.
“Uangnya sudah ada di koper, kataku, kapan kamu serahkan ke Achsanul?” kata Hakim Fahzal Hendri.
“Iya, kita akan naik ke lantai 9 bersama-sama,” kata Sadikin. “Bawa aku ke (nomor kamar) 902?” kata hakim lagi.
“904 dulu Pak,” kata Sadikin.
Setelah itu, Hakim Fahzal menanyakan kepada Sadikin mengenai harga kamar hotel mewah tersebut.
“Berapa banyak ini?” ucap Fahzal.
“Sekitar 3 juta,” kata Sadikin.
Dari dua kamar yang disewa, hanya kamar nomor 902 yang ditempati pada 19 Juni 2022.
Sadikin dan asistennya Arfiana sedang duduk di dalam kamar.
Sementara Achsanul memilih tidak menginap di hotel tersebut.
Dia pipis di kamar kontrakan 904.
Mendengar cerita itu, Hakim Fahzal tertawa.
“Apa itu cukup?” kata Hakim Fahzal.
“Iya,” kata Sadikin.
“Cukup kencing haha,” kata Hakim sambil tertawa.
Sadikin kemudian meralat ucapannya.
Kamar 904, kata dia, sebelumnya disewa oleh keluarga Arfiana.
Padahal, hari itu kamar Arfiana sedang kosong.
“Ini bukan tentang kencing, ya Tuhan, ini tentang keluarga,” katanya.
“Apakah keluarga Arfiana ada di sana?” kata hakim.
“Tidak ada,” jawab Sadikin.
“Baiklah, baiklah, bayar sekarang pak, anda sudah membayar 3 juta untuk makan di Grand Hyatt” ucap Hakim.
Dalam persidangan juga terungkap bagaimana Achsanul mengaku sengaja menyewa rumah di kawasan Kemang, Jakarta, untuk menghemat Rp 40 miliar.
“Setelah Sadikin Rusli mendapatkan uangnya, Sadikin Rusli menyerahkannya kepada bapak, apakah bapak mengambilnya, dan uangnya dibawa kemana?” tanya hakim anggota Alfi Setyawan.
“Saya simpan pak,” kata Achsanul yang diinterogasi sebagai tersangka.
Di mana itu disimpan? tanya hakim.
“Di rumah pak, di Kemang,” kata Achsanul.
“Di rumah atau di rumah lain?” tanya hakim.
“Tidak Pak, ada rumah,” jawab Achsanul.
“Di mana?” tanya hakim.
“Di Kemang pak,” kata Achsanul.
Hakim terus mempertanyakan Achsanul tentang harta benda di Kemang.
“Rumah siapa ini?” tanya hakim.
Saya sewa pak, kata Achsanul.
Ia mengaku telah menyewa rumah tersebut selama satu tahun. Tidak ada seorang pun yang tinggal di rumahnya. “Yah, siapa yang tinggal di sana?” tanya hakim.
“Kosong ya Baginda,” jawab Achsanul.
“Apa perlunya sewa rumah di Kemang? Berlebihan pak. Lebih dari makna dekat setan, agama kita bilang Islam begitu. Perilaku berlebihan dekat setan atau itu tidak?” kata hakim.
“Iya,” kata Achsanul.
Hakim menanyakan alasan Achsanul menyewa rumah di Kemang.
“Rumah di Kemang itu tidak murah ya? Apa gunanya kalau tidak layak huni, tidak layak huni, begitulah. Biarkan saja. Apa gunanya?” tanya hakim.
“Untuk menghemat uang Pak,” kata Achsanul.
“Jadi, mari kita sewa rumah ini secara pribadi untuk menghemat uang?” meminta konfirmasi kepada hakim.
“Iya,” kata Achsanul.
Achsanul pun mengaku tidak langsung menyimpan uang tersebut di rumahnya di Kemang setelah menerimanya dari Sadikin Rusli.
“Kapan (tahanan rumah di Kemang)? Mulai tanggal 19 (Juli 2022), tanggal 19?” tanya hakim.
“Lupakan, aku lupa ya Baginda,” kata Achsanul.
“Besok tanggal 20 atau minggu berikutnya?” tanya hakim.
“Setelah itu saya lupa tanggalnya,” kata Achsanul.
Maksudnya, tidak sehari (setelah menerima uang dari Sadikin Rusli)?. meminta konfirmasi kepada hakim.
“Tidak,” kata Achsanul.
Hakim pun bertanya, sebelum menitipkan uang tersebut di rumah di Kemang, tempat uang itu disimpan.
Achsanul pun mengaku menyimpan uang Rp 40 miliar di dalam koper di dalam mobil.
“Di mana Anda, Tuan?” tanya hakim.
“Di dalam mobil, Tuanku,” kata Achsanul.
Hakim kaget mendengar pengakuan Achsanul mengingat bahayanya menyimpan uang dalam jumlah besar di dalam mobil.
Achsanul pun mengaku melakukannya karena tidak punya pilihan lain, termasuk mengambil uang Rp 40 miliar.
“Di dalam mobil? Ishh. Bukankah itu berbahaya untuk uang yang banyak?” ucap hakim Alfi.
“Iya berbahaya sekali Pak. Tapi saya tidak punya pilihan lain,” kata Achsanul.
Achsanul mengaku sangat ingin mengembalikan uang tersebut.
Achsanul mengaku menyimpan uang itu di rumah karena berpikir untuk mendapatkannya kembali.
“Maksudnya dia dikurung di rumah itu, di Kemang, apa tujuannya?” kata hakim Alfi Setyawan.
“Saya sedang berpikir untuk mengembalikannya,” jawab Achsanul.
“Oh, bertanya-tanya bagaimana cara kembali?” tanya hakim.
“Iya, kesalahan terbesar yang saya lakukan adalah…,” kata Achsanul.
“Tunggu, aku sedang berpikir untuk mengembalikannya. Kembalikan ke siapa?” hakim menghalangi penjelasan Achsanul.
“Iya saya ngobrol dengan Pak Sadikin, nomor teleponnya tidak ada,” kata Achsanul.
Saat itu, Achsanul mengaku bingung siapa yang akan mengembalikan uang tersebut.
Padahal, mereka tahu hal itu harusnya dilaporkan ke pihak keamanan.
“Mustahil untuk tidak mengetahui siapa yang membawanya kembali? Benar?” kata hakim.
“Masalah,” kata Achsanul.
“Gelisah?” tanya hakim yang kaget.
“Iya, lagipula ada berita yang tersebar…,” kata Achsanul.
Hakim pun menanyakan apa yang seharusnya dilakukan Achsanul sebagai pejabat pemerintah saat itu.
Seharusnya saya lapor, kata Achsanul.
“Kepada siapa?” kata hakim.
“Ya untuk penegakan hukum, untuk KPK…,” kata Achsanul.
“Untuk panitia antikorupsi ya? Apakah ada kewajibannya?” ucap hakim menyela penjelasan Achsanul.
“Iya pak, saya tidak peduli,” jawab Achsanul.
“Berapa kewajiban lapornya?” kata hakim.
“Rp. 1 miliar,” kata Achsanul.
Hakim terus mendalami alasan Achsanul tidak melaporkan penerimaan uang Rp 40 miliar.
Achsanul pun menceritakan kondisi pikirannya saat itu.
“Hei, kenapa kamu tidak melapor kali ini?” tanya hakim.
“Sikap saya saat itu Pak,” kata Achsanul.
“Kalau tiba waktunya membuat laporan, bapak tidak duduk di situ (kursi tempat Achsanul duduk saat sidang) Pak,” kata hakim.
“Tidak, Nabi. Setelah saya berangkat haji, Rasulullah, saat itu banyak hal yang harus saya kerjakan, jadi saya lakukan semuanya, itu salah saya dan salah saya,” kata Achsanul.
Achsanul mengembalikan uang tersebut kepada penyidik melalui pengacaranya.
Ia pun mengaku tidak menggunakan uang tersebut.
Hakim pun mempertanyakan alasan Achsanul mengembalikan uang final tersebut, apakah ada hubungannya dengan pemberitaan media atau tidak.
“Mengapa Anda menjawabnya, Tuan?” tanya hakim.
“Harusnya dikembalikan, hanya itu caranya…” jawab Achsanul.
“Nah, kenapa kamu membawanya kembali?” hakim menyela perkataan Achsanul.
“Saya harus mengulanginya,” kata Achsanul.
Hakim kemudian menanyakan apakah alasan Achsanul mengembalikan uang tersebut karena kehadiran media atau karena dipanggil dan diperiksa sebagai saksi oleh pihak kejaksaan.
“Kalau saya punya cara untuk mengambilnya kembali maka saya akan melakukannya,” kata Achsanul.
“Iya sebaiknya, kalau tidak bisa cari cara untuk mendapatkannya kembali kan? Laporkan saja ke Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai hukum. Gampang, tidak perlu main-main, tidak perlu panik, ya” , kata hakim.
Kadang sederhana bapak dan ibu sekalian, tapi posisi saya saat itu membawahi banyak kementerian dan lembaga, bisa dibayangkan sikap saya saat itu Pak Achsanul.
Alasan penerimaan uang tersebut adalah untuk memberikan status tidak layak (WTP) pada proyek BTS sehingga menghentikan penyidikan Kejaksaan Agung.
Terkait Program BTS/Lastmile Project 2021, Achsanul selaku anggota Badan Pemeriksa Keuangan III sedang mengkaji pembentukan tim.
Hal ini termasuk Audit Tujuan Khusus (PDTT) TA 2021 Cominfo dan review laporan keuangan TA 2021 Cominfo.
Tim pun menerima hasil survei tersebut.
Berdasarkan temuan tersebut, Achsanul memanggil Direktur BAKTI Kominfo saat itu Anang Achmad Latif ke kantornya pada Juni 2022.
Saat itu, Achsanul menanyakan apakah Anang sudah membaca draf laporan pemeriksaan.
Anang yang membacanya mengatakan, RUU itu terlalu berat karena banyak penelitian.
Achsanul kemudian mengatakan akan ada peninjauan terhadap proyek BTS PDTT. Anang hanya mendengarkan dalam diam.
Achsanul lalu berkata, ‘Tolong siapkan uang Rp 40 miliar’, sambil menyerahkan kertas bertuliskan nama dan nomor telepon penerima.
Anang kemudian menelepon Irwan Hermawan dan Windi Purnama untuk menyiapkan uang Rp 40 miliar.
Anang memberikan uang tersebut karena takut jika permintaannya tidak dipenuhi, BPK akan melakukan penilaian atau penelitian yang dapat merugikan proyek BTS 4G, seperti mahal, berlebihan, tidak efektif. (jaringan / poros / dod)