TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah melalui dokumen kebijakan Prinsip Kebijakan Makroekonomi dan Fiskal (KEM & PPKF) 2025 memuat rencana penguatan kebijakan perpajakan hasil tembakau (CHT), salah satunya dengan penyederhanaan besarannya.
Pelonggaran standar atau sifat pajak tembakau diperkirakan akan mendorong rokok ilegal. Penyederhanaan tarif pajak ini berarti bahwa konsumen yang terbebani dengan kenaikan harga dapat terjerumus ke pasar tembakau ilegal.
Menurut Wawan Hermawan, akademisi UNPAD, penyederhanaan tarif pajak ini akan membuat produsen besar menguasai pasar, sehingga hanya tersedia rokok termahal.
“Harga rokok (legal) 25-30 ribu rand dibandingkan (rokok ilegal) 10-15 ribu rand, sangat menurunkan minat terhadap rokok legal. Oleh karena itu, merokok rokok legal sudah menjadi sebuah kemewahan bagi masyarakat kelas bawah atau masyarakat. kelas bawah,” kata Wawan Jumat (19/7/2024) 40 persen penduduknya berpendapatan rendah.
Dengan adanya tekanan ekonomi yang dihadapi masyarakat, banyak perokok yang mencari alternatif yang lebih murah untuk melanjutkan kebiasaannya, yang pada akhirnya berujung pada peningkatan penggunaan rokok ilegal dan Sigaret Kretek Tangan (SKT).
Jumlah perokok pada kelompok berpendapatan rendah jauh lebih tinggi dibandingkan perokok pada kelompok berpendapatan menengah dan tinggi.
“Menurut saya, yang utama adalah harga tembakau sangat tinggi dibandingkan dengan pendapatan masyarakat, hal ini karena penyebaran tembakau yang terus menerus dan kebiasaan tembakau sebagai alat publik. Selain itu, penegakan hukum tembakau produsen masih lemah,” imbuhnya.
Terkait data tembakau ilegal, survei yang dilakukan Indata pada 13 Juli hingga 13 Agustus 2020 di 13 kota provinsi di Indonesia menunjukkan 28,12 persen dari 2.500 peserta di Indonesia menggunakan tembakau ilegal.
CEO Montata, Danis TS Wahidin menjelaskan, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji hubungan tingginya tarif pajak rokok legal dengan peredaran rokok ilegal.
Dennis Minggu (24/10/2021) mengatakan, “Kenaikan harga tembakau berdampak pada perilaku perokok, namun tidak berhenti merokok. Yang terjadi adalah beralihnya kemewahan ke rokok biasa, bahkan perokok terpaksa menggunakan rokok ilegal.” “.
Danis menambahkan, jika penggunaan tembakau ilegal diubah menjadi pendapatan negara yang hilang, jumlahnya bisa mencapai Rp53,18 triliun. Hasil tersebut menunjukkan bahwa peredaran tembakau ilegal masih menjadi permasalahan serius yang memerlukan perhatian lebih dari pemerintah.
Pemerintah harus mempertimbangkan langkah-langkah komprehensif untuk mengakhiri masalah ini, termasuk memberikan lebih banyak dukungan kepada industri tembakau dalam negeri dan memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal. Permasalahan ini hanya dapat diselesaikan secara efektif demi kesejahteraan ekonomi dan kesehatan masyarakat dengan menggunakan pendekatan yang menyeluruh dan komprehensif.