Penjualan Mobil Stagnan Akibat Pengusaha Dealer Sulit Dapat Merek Baru, Ini Kata Gaikindo

Reporter Tribune News.com Lita Fabriani melaporkan 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Hampir satu dekade penjualan otomotif Indonesia, khususnya kendaraan roda empat, menembus angka 1 juta unit. Dari data Gaekindo, pasar banyak mengalami gangguan pada tahun ini.

Tercatat penjualan grosir mobil turun 17,1 persen year-on-year (YoY) menjadi 560.619 unit pada Januari hingga Agustus 2024, dari 675.859 unit pada periode yang sama tahun 2023.

Pada periode yang sama, penjualan ritel mobil dalam negeri juga mengalami penurunan sebesar 12,1 persen menjadi 584.857 unit pada 2023 dari 665.262 unit.

Di tengah pasar yang sulit, pemerintah juga menargetkan meningkatkan penjualan tahunan menjadi 2 juta pada tahun 2030.

Tampaknya target di atas harus ditunda, apalagi kondisi pasar domestik dan dunia masih lesu. Pertumbuhan penjualan mobil juga dirasakan melambat karena tidak adanya regulasi yang mendukung di rantai pasok pusat.

Diane Parluhutan, pengawas hukum persaingan dagang dan dosen Universitas Pelita Harapan, menilai selama ini pemerintah fokus mendukung sektor hulu dan hilir, namun lupa memperhatikan perlindungan pedagang. Hal ini terlihat dari adanya perjanjian yang memuat klausul pengecualian. 

Klausul eksklusivitas dalam perjanjian vertikal melarang investor mendirikan usaha serupa yang menjual merek berbeda. 

Situasi ini tentu berbeda dengan praktik-praktik masa lalu yang mendorong persaingan usaha yang sehat dan memungkinkan para pelaku usaha hilir, dalam hal ini dealer, berkolaborasi dengan merek yang berbeda, jelas Diane, Senin (23/9/2024).

Dian menjelaskan, sifat pasar otomotif di Indonesia adalah oligopoli, artinya hanya sedikit pemain yang menguasai pasar sektor otomotif.

Ia mencontohkan pengusaha di Jepang, Korea Selatan atau Eropa dimana penyediaan barang, harga dan jasa penjualan akan diputuskan oleh pengusaha secara bersamaan.

Pasar oligopoli di Indonesia membuat pelaku usaha lain sulit mencari pasar merek baru atau berpeluang eksis di Indonesia.

Fenomena ini terjadi akibat adanya perjanjian eksklusif yang dilarang Pasal 15 UU No. 5/1999 dan penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang Pasal 25, serta adanya kegiatan penguasaan pasar yang dilarang Pasal 19 UU. 5. / 1999.  “Oligopoli tercipta karena perjanjian eksklusivitas yang diberlakukan oleh pemegang merek pasal, yang menutup peluang bagi investor untuk mendirikan bisnis lain yang menjual merek berbeda,” kata Dianne.

Dijelaskannya, dalam hukum persaingan dagang Jerman dan Uni Eropa (UE), perjanjian restriktif jenis ini tergolong dalam perjanjian yang dilarang secara mutlak (hardcore agreement).

Bahkan di Komisi Pengawas Persaingan Dagang (KPPU) di Uni Eropa, perjanjian ini tidak diperbolehkan dan dianggap tidak adil.   

Diane menambahkan, jika dalam perjanjian kerja sama ada pasal yang menyebutkan adanya klausul eksklusif, maka perjanjian tersebut batal.

“Jika KPPU menemukan bukti adanya perjanjian khusus, maka perjanjian tersebut batal. Oleh karena itu, perjanjian tersebut dianggap tidak ada sama sekali,” imbuhnya.

Diane menegaskan, perjanjian eksklusif tersebut merupakan perjanjian yang tidak sah dan dapat dengan mudah dinyatakan tidak sah berdasarkan Pasal 1335 juncto Pasal 1320 KUH Perdata.

Artinya menurut Pasal 1335 KUH Perdata dinyatakan seolah-olah tidak ada karena melanggar klausul atau melanggar undang-undang antimonopoli, ujarnya. Pakar hukum persaingan usaha itu meminta KPPU lebih proaktif melakukan investigasi sektoral, seperti sektor otomotif.

Hal ini sebagai upaya untuk mencegah potensi praktik monopoli dan persaingan perdagangan tidak sehat. Data hasil penyelidikan akan menjadi alat bukti yang disampaikan pelapor.

“Pedagang atau pengusaha dapat melaporkan kepada KPPU apabila dirasa terdapat unsur eksklusivitas dalam perjanjian kerja sama tersebut dan hendaknya KPPU menindaklanjutinya,” kata Dian. 

Jika ada dealer yang melapor ke KPPU namun izin kerjasamanya dicabut oleh pemilik merek, hal tersebut juga merupakan pelanggaran hukum.

UU 5/1999 Pasal 15 dan Pasal 19 huruf a melarang pelaku usaha melakukan perjanjian vertikal yang menutup kebebasan pelaku usaha di bawahnya untuk mengambil keputusan bisnis yang wajar.

Dengan kata lain, tidak boleh membatasi ruang gerak pelaku usaha yang berada di bawahnya untuk mendirikan usaha lain yang menjual produk berbeda, kata Dian.  

Diane menyarankan agar dealer yang merasa dirugikan dengan perjanjian eksklusif tidak perlu takut.

Sebab, syarat sahnya suatu kontrak adalah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini UU 5/1999 merupakan undang-undang penuntun utama atau payung hukum persaingan usaha yang sehat khususnya sektor Otomotif Nasional. ” jelasnya.

Gaekindo membantah stagnasi penjualan akibat perjanjian eksklusif

Kukuh Kumara, Sekretaris Jenderal Gaekindo, membantah pernyataan pakar hukum persaingan dagang Diane Parluhutan soal perjanjian eksklusif yang menghambat penjualan mobil nasional.

“Tidak, masalahnya mobil itu tidak seperti produk lain. Kalau mobil dijual, produk itu ada komponen teknologinya dan sebagainya. Oleh karena itu, penjualan di “Dealer Terbagi” tidak mungkin dilakukan, saat dihubungi Tribun News.com, Senin (23/9/2024).

Kukuh mencontohkan seorang diler yang menjual seluruh mobil Brandon di satu lokasi, namun akhirnya harus menutup gerainya karena pelayanan yang kurang memadai.

“Sebenarnya dulu pernah ada perusahaan yang menjual berbagai jenis produk, tapi tidak begitu sukses. Jadi alangkah baiknya jika fokus pada satu merek. Karena variasi yang ingin dijual oleh suatu merek berbeda-beda. Bentuknya berbeda-beda. “, kata sang jenderal. Sekretaris. Dari Gaekindo.

Kukuh membantah mandeknya penjualan 1 juta unit karena perjanjian dealer eksklusif dengan merek. Penjualan yang tidak melebihi 1 juta unit sebagian besar disebabkan oleh data pembelian dan harga mobil.

Gaikindo melakukan penelitian yang menemukan bahwa harga mobil meningkat sekitar 7 persen setiap tahunnya. Sedangkan daya beli kelompok menengah hanya meningkat 1 persen per tahun.

“Kami melakukan kajian, harga mobil naik sekitar 7 persen setahun. Itu karena berbagai hal, nilai tukar, suku bunga bank, dll, utang, dll. Faktor eksternal, misalnya logistik, maka itu Geopolitik berdampak. dan “harga naik sebesar 7 persen. Tapi daya beli masyarakat kita umumnya kelas menengah tumbuh kurang dari 3 persen, di bawah inflasi,” jelasnya.

Faktor-faktor inilah yang menjadi pemicu utama pasar mobil baru di Indonesia yang hanya 1 juta unit. Artinya, perjanjian eksklusif dealer tidak berpengaruh terhadap penjualan mobil tersebut.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *