Laporan reporter Tribunnews.com Endrapt Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – CEO PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo Arif Suhartono angkat bicara soal pengusaha yang mengeluhkan biaya logistik di Indonesia paling mahal di antara negara-negara ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Malaysia). Filipina, Singapura, dan Thailand.
Menurut Arif, peran Pelindo terhadap biaya logistik sangat kecil. Tugas mereka di sini hanya melindungi dan menurunkan kontainer dari kapal.
Pelindo tinggal bongkar kontainer, lihat kontainernya, lalu owner (perusahaan pemilik kontainer) buka pintunya. Jadi peran Pelindo sangat kecil, ujarnya dalam rapat gabungan dengan Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen. . Senayan, Jakarta, Rabu (3/7/2024).
Arif mengatakan, dalam hal ini pihaknya bisa membantu kelancaran logistik dengan memperpendek pelabuhan dan menahan kargo.
“Cara yang dilakukan Pelindo untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mempercepat prosesnya, yakni mempersingkat masa tinggal di pelabuhan dan masa tinggal muatan,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan biaya berbisnis di Indonesia tergolong mahal atau mahal.
Dia mengatakan tingginya biaya tersebut membuat badan usaha tidak bisa berbisnis.
Permasalahan yang masih ada di Indonesia adalah ekonomi biaya tinggi,” kata Shinta dalam diskusi bertajuk “Presiden Baru, Masalah Lama” di kawasan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. . Selasa (25 Juni 2024).
Menurutnya, Indonesia memiliki biaya logistik, rantai pasok, energi, tenaga kerja, dan kredit termahal di antara negara-negara ASEAN-5.
Negara-negara ASEAN-5 adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.
Biaya logistik perdagangan, salah satu komponen biaya operasional Indonesia yang disebut Shinta, menyumbang 23,5 persen terhadap PDB. Hal ini dianggap relatif tidak efisien dan tidak kompetitif untuk perdagangan.
Dibandingkan beberapa negara lain, Indonesia cukup terpencil. Misalnya, biaya logistik komersial di Malaysia sebesar 13 persen dan di Singapura 8 persen.
Meski Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan biaya logistik komersial Indonesia akan turun hingga 14-15 persen pada tahun 2023, Shinta mengatakan kenyataannya berbeda.
Ia mengatakan, Indeks Kinerja Logistik (LPI) tahun 2023 menunjukkan kelemahan signifikan pada kinerja logistik Indonesia.
“Terutama dari segi ketepatan waktu, kualitas layanan lanjutan, dan efisiensi layanan internasional,” kata Shinta.
Faktor biaya lain yang membuat Indonesia tertinggal dibandingkan negara ASEAN lainnya adalah biaya dan waktu impor dan ekspor.
Shinta mengatakan, Indonesia memiliki biaya paling mahal dan memakan waktu paling lama di antara ASEAN-5, terutama dalam impor.
Biaya dan waktu untuk melakukan kegiatan impor di Indonesia sebesar 164 dollar AS dan 106 jam. Sementara itu, rata-rata ASEAN-5 adalah $104 dan 58 jam.
Tingginya biaya ini menghalangi upaya Indonesia untuk menjadi bagian dari rantai nilai global dan rantai nilai regional, kata Shinta.
“Kami selalu mengatakan Indonesia harus menjadi bagian dari rantai nilai, tapi kami punya masalah dengan logistik,” kata Shinta.