Pengungsi banjir Sumbar terancam tiga gelombang penyakit, mulai dari penyakit menular hingga stres pascatrauma – ‘Jika ada hujan saya sangat takut’

Banjir dan lahar di Provinsi Sumatera Barat sejauh ini telah menewaskan 59 orang dan membuat sedikitnya 3.396 orang mengungsi. Pakar kesehatan khawatir gelombang ketiga penyakit ini dapat menulari orang-orang rentan di kamp pengungsi.

Masalah lain yang dihadapi pengungsi termasuk gangguan stres pasca-trauma dan depresi, kata para pengamat.

Di sisi lain, Direktur Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto mengatakan, jumlah korban tewas masih akan terus bertambah seiring dengan terus dilakukannya pencarian korban hilang.

Menghadapi situasi tersebut, Direktur Pusat Krisis Kementerian Kesehatan mengatakan, Pihak Sumajaya sedang memantau situasi pengungsi di Sumbar.

Sejauh ini warga diketahui menderita penyakit ISPA, penyakit sistem pencernaan, penyakit kulit, demam, sakit kepala, darah tinggi, dan gejala lainnya. “Aku takut kalau hujan.”

Surati, salah satu korban banjir dan lahar dingin yang terlihat di lokasi pengungsian pada Selasa (14/05), mengatakan: “Anak saya dan dua kakak laki-laki saya meninggal dunia dalam bencana ini.

Wanita berusia 47 tahun itu mengenang bencana di Jolong Kaluang, Distrik Songhai Phu, Distrik Hutan yang menghancurkan rumahnya dan 13 rumah warga lainnya.

Saat itu, sekitar pukul 22.00 pada hari Sabtu (5 November) dan dia baru saja tertidur.

Tiba-tiba, dia terbangun karena suara keras.

“Saya langsung terbangun dan tak lama kemudian, air masuk ke dalam rumah dan saya langsung hanyut tersengat listrik,” ujarnya dalam bahasa setempat.

Namun ia tidak sempat menyelamatkan diri dan hanyut terbawa banjir beberapa meter dari rumahnya. Tak hanya itu, ia tenggelam karena ketinggian air.

“Saya tenggelam beberapa kali, namun saya bisa bernapas kembali dan beberapa kali tenggelam lagi,” lanjutnya.

Usahanya untuk bertahan hidup tidak sia-sia. Surati selamat setelah berpegangan pada akar bambu yang diseretnya.

“Eugene akhirnya menyelamatkan saya, saya berusaha menyelamatkan diri dari pemerkosaan.”

Saya tidak bisa lagi merasakan luka di sekujur tubuh saya. Dia segera melarikan diri ke tempat aman.

WIB, Minggu (5/12) sekitar pukul 01.00 WIB, tim penyelamat menjemputnya dan membawanya ke kamp pengungsi tempat ia tinggal saat ini.

Surati mengaku trauma dengan bencana tersebut.

“Sekarang kalau hujan, saya takut terjadi lagi, saya tidak mau mendengar hujannya,” ujarnya.

Tak hanya itu, ia mengaku trauma saat mendengar suara guntur atau kilat. Karena sebelumnya dia mendengar suara guntur yang sangat keras.

Ia berharap musibah yang terjadi saat ini cepat berlalu sehingga ia bisa terus bersama suami dan anak-anaknya. Meski rumahnya hancur. Sebagian besar warga mengungsi ke rumah kerabatnya

Koordinator Lokasi Kamp Pengungsi (Korlap) Jurong Galuang Ahmad Jais mengatakan, kamp tersebut hanya dihuni enam orang penghuni.

Ia mengatakan sebagian besar warga memilih tinggal bersama kerabatnya.

“Rumah 150 warga hancur, namun sebagian besar mengungsi ke rumah kerabatnya,” ujarnya. Hanya enam orang yang terluka.

Menurutnya, tidak ada satu pun korban yang mengeluh sakit di kamp tersebut. Karena ada berbagai macam obat di luar sana.

Lanjutnya, “Kemarin dikirim dua orang ke Padang. Tapi sekarang mereka kembali dan di sinilah mereka.’

Surati, seorang pengungsi, mengaku merasa nyaman berada di tempat itu karena dirawat dengan baik.

“Saat ini saya hanya merasakan nyeri di dada, mungkin karena keterkejutan yang saya alami pada kejadian kemarin,” lanjutnya. Apa dampak kesehatan bagi mereka yang terkena dampaknya?

Hujan deras di Sumbar menyebabkan banjir dan tanah longsor di enam kabupaten dan kota antara lain Forgan, Thana Dada, Padang Pariaman, Kota Padang, dan Limapuru Kota.

Peristiwa tersebut terjadi pada Sabtu (5/11) sekitar pukul 20.00 hingga 22.00 WIB.

Menurut Kementerian Kesehatan, hingga Selasa (14/05), jumlah warga terdampak bencana tersebut mencapai 6.523 orang. Jumlah pengungsi sebanyak 3.392 orang.

Sumarjaya, direktur pusat krisis Kementerian Kesehatan, mengatakan tujuh orang luka berat dan 92 luka ringan serta dirawat di rumah sakit.

Mereka yang masih menjalani perawatan telah dipindahkan ke berbagai rumah sakit terdekat.

Berdasarkan data petugas kesehatan di lapangan, korban banjir di Kabupaten Agam merupakan yang paling parah sakitnya.

Rinciannya, 9 orang menderita maag, 8 orang menderita dispepsia atau dispepsia, demam, sakit kepala, hipertensi, penyakit kulit, dan infeksi saluran pernafasan akut.

“Ini adalah beberapa penyakit yang muncul, dan fasilitas kesehatan telah didirikan di banyak tempat.”

“Kami melihat banyak petugas kesehatan di sana. Jadi dari segi kapasitas, tenaga kesehatan punya kapasitas.”

Namun, Ketua Penanggulangan Bencana Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr. Lucky Tajjono mengatakan Kementerian Kesehatan harus mewaspadai berbagai penyakit menular yang menimpa warga terdampak banjir beberapa hari setelah bencana.

Penyakit menular yang kemungkinan besar terjadi pada gelombang pertama adalah diare dan penyakit kulit.

Saat terjadi banjir, penduduk yang tinggal di daerah yang terkena dampak kemungkinan besar akan terpapar atau menelan bahan organik dari saluran air atau limbah.

Lalu, satu atau tiga hari kemudian, situasi “darurat” yang dialaminya tidak ditangani dengan baik oleh otoritas setempat, pejabat kesehatan, atau relawan.

Terkadang bantuan bahkan tidak datang. Termasuk air bersih.

Dalam kasus seperti ini, baik orang dewasa maupun anak-anak menderita diare dan penyakit kulit.

Lucky Tajjono menjelaskan kepada BBC News Indonesia: “Penyakit ini berasal dari air yang terkontaminasi, sehingga warga dan relawan harus berhati-hati saat meminum air di sana. “Pastikan airnya bersih dan direbus.”

Jangan gunakan air sumur untuk saat ini, karena masih terkontaminasi, apalagi jika terjadi bencana. Air sumur harus didesinfeksi terlebih dahulu dengan kaporit, yang harus didesinfeksi dengan memeriksa alat rapid test. .

Penyakit menular lain yang harus diwaspadai adalah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).

Setelah banjir, lingkungan yang terkena dampak memanas. Dia mengatakan ketidakseimbangan pengungsi, kekacauan dan kepadatan yang berlebihan juga berperan dalam penyebaran ISPA.

Apalagi jika tubuh memiliki daya tahan tubuh yang rendah, maka mudah tertular, karena ISPA bisa disebabkan oleh virus atau bakteri. Makanya kebersihan tetap terjaga dan warga diberikan masker dan vitamin bila diperlukan.”

“Suplementasi Vitamin C untuk Dewasa, Suplementasi Vitamin A untuk Bayi dan Anak Kecil.”

Namun petugas kesehatan harus bersiap untuk menularkan campak kepada bayi dan anak kecil selain infeksi saluran pernapasan.

Otoritas kesehatan harus khawatir dengan keberadaan penyakit ini di kamp-kamp pengungsi yang padat, kata Lucky.

Sebab jika hanya satu anak saja yang diketahui mengidap rubella, maka seluruh anak di wilayah tersebut harus divaksin.

“Setiap orang harus divaksinasi, bahkan jika seseorang menderita campak.”

Penyakit yang terjadi pada gelombang kedua antara lain kusta, tetanus, dan hepatitis A.

Masa inkubasi penyakit ini adalah tujuh hingga 10 hari setelah banjir.

Leptospirosis atau penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini menular melalui kontak langsung dengan kotoran hewan, terutama hewan pengerat.

Gejala umumnya meliputi demam, kelelahan, nyeri otot, mual, muntah, dan kulit menguning.

“Kita bisa tertular infeksi atau melukai kaki atau lengan kita.”

Oleh karena itu, pihaknya merekomendasikan warga, relawan, atau tim pencari untuk memakai alat pelindung diri (APD).

Namun, ia mengatakan penyakit kusta banyak terjadi di daerah padat penduduk karena seringnya terjadi banjir, buruknya pengelolaan sampah dan sanitasi.

Ia mencatat, dalam beberapa kasus, kejadian leptospirosis tertinggi terjadi di kota-kota padat penduduk seperti Jakarta.

“Tetapi di Sumbar, risiko penyakit kusta lebih rendah karena pemukimannya tidak sepadat di Jakarta.”

Penyakit yang muncul pasca gelombang banjir ketiga antara lain demam berdarah dan komplikasi seperti darah tinggi, diabetes, dan stroke pada lansia.

Demam berdarah, yang disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti, lebih aktif saat suhu hangat (misalnya musim panas).

Kasus demam berdarah dikatakan muncul dalam beberapa minggu setelah banjir.

Sumajaya, Kepala Pusat Krisis Kementerian Kesehatan, mengatakan untuk mencegah penyakit tersebut, petugas kesehatan biasanya melakukan karantina.

Menurutnya, peran atomisasi tidak hanya untuk membunuh jentik nyamuk saja, namun juga untuk mencegah penyebaran penyakit melalui lalat dan serangga lainnya.

“Jadi kita lihat kalau kamp-kamp tersebut bertahan lebih dari lima hari, maka akan berkabut dan penyakit tidak akan menular ke kamp-kamp tersebut,” kata Sumajaya.

Petugas Penanggulangan Bencana Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr. Lucky Tajjono mengatakan berbagai penelitian dan statistik membuktikan bahwa setiap bencana memberikan tekanan pada warga yang terkena dampak.

Keadaan ini mungkin disebabkan oleh hilangnya anggota keluarga, harta benda atau nyawa.

Dalam situasi bencana di Indonesia, biasanya 20 hingga 30 persen korban perlu menjalani evaluasi kesehatan mental atau bahkan dirujuk ke psikolog, ujarnya.

Sumajaya mengakui situasi tersebut.

Oleh karena itu, penghuni kamp pengungsian jangka panjang seringkali mendapat dukungan dalam bentuk layanan psikologis.

Sumarjaya menjelaskan, “Istilah yang sekarang adalah penyembuhan luka. “Biasanya standar kami adalah menyediakan seorang psikiater, dua psikolog, dan dua perawat kesehatan mental untuk tim yang terdiri dari 20 orang.”

“Tetapi tingkat stres korban banjir biasanya tidak terlalu tinggi. “Dibandingkan gempa bumi atau tsunami, tekanan yang terjadi lebih cepat karena terjadi dengan cepat dan segera.”

Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan, korban banjir dan lahar ditampung di lokasi pengungsian di fasilitas umum seperti sekolah milik pemerintah daerah.

Pengungsi terbesar berada di Kabupaten Tanah Datar sebanyak 2.039 jiwa, disusul Kabupaten Agam sebanyak 1.115 jiwa, dan Kota Padang Pariaman sebanyak 198 jiwa.

Sedangkan dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Kesehatan menilai kondisinya paling parah dan menempatkannya di Kabupaten Agam.

Fasilitas kesehatan utama terletak di SDN 08 Kubang Dui Kuto Panjang, disusul oleh Fasilitas Kesehatan Galuang Kapala Kato di depan Kantor Pengawas Desa Sungai Pua dan terakhir Pos Kesehatan Galugua di depan Puskesmas IV Kuto.

Jurnalis yang berbasis di Sumatera Barat, Halbert Kanyago, berkontribusi pada laporan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *