Laporan reporter Tribunnews.com Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Agen gas LPG 3kg mengeluhkan tindakan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang terus mengenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas biaya pengangkutan gas. distribusi dari agen ke basis.
Pajak ini dikenakan berdasarkan Nota Dinas Nomor: ND-247/PJ/PJ.03/2021 yang diterbitkan pada tanggal 22 Desember 2021.
Keluhan ini diungkapkan Suhu Teger, pengacara pajak yang membela agen gas.
Nota Dinas Nomor: ND-247/PJ/PJ.03/2021 masih berlaku karena belum dicabut oleh Kantor Pajak Pusat, kata petugas pajak.
Kepala Direktorat Jenderal Pajak menganggap biaya pengangkutan yang timbul dari selisih harga eceran tertinggi dan harga eceran tertinggi sebagai sumber tambahan perekonomian, sesuai Pasal 4 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. tentang pajak penghasilan dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan Barang Mewah.
Anggapan tersebut dinilai salah karena biaya transportasi ditentukan oleh pemerintah daerah.
Tanpa surat keputusan pemerintah daerah, agen gas elpiji 3 kg tidak bisa memperhitungkan biaya angkut pembeli gas.
“Pajak tanpa perwakilan secara teori adalah perpajakan tanpa hukum, atau perpajakan tanpa perwakilan adalah perampokan, dan perpajakan tanpa hukum adalah perampokan,” kata Weather Teger dalam keterangannya, Minggu, 09 Agustus 2024.
Terlebih lagi, para wakil tersebut tidak mempunyai kewenangan hukum untuk menentukan besaran biaya pengangkutan gas karena ditentukan oleh pemerintah daerah.
Apabila biaya transportasi akan dikenakan pajak, maka Undang-undang Pajak berlaku terhadap tambahan sumber daya ekonomi yang dihasilkan dari kebijakan daerah, keputusan pemerintah kabupaten/kota.
Pajak PPh dan PPN harus dipungut dari sumber tambahan perekonomian yang diciptakan atas dasar hukum pada tingkat hukum.
Misalnya saja akad jual beli menurut Pasal 4, Bagian 1 UU Pajak Penghasilan, dan UU PPN.
Ose Madril, pakar hukum administrasi publik Universitas Gadja Mada, mengatakan jika pemungutan pajak dilakukan tanpa dasar hukum, maka kebijakan tersebut melanggar hukum dan melanggar putusan Mahkamah Konstitusi 33/PUU. – XXII/2024.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain bagi negara pada dasarnya adalah kegiatan yang mengalihkan hak milik pribadi kepada negara.
“Memungut pajak kepada masyarakat tanpa dasar hukum yang jelas (lex certa) dan hanya didasarkan pada penafsiran hukum adalah tindakan ilegal dan penyalahgunaan kekuasaan,” kata Ose Madril.