TRIBUNNEWS.COM – Meninggalnya Brigadir Rital Ali Tomi, anggota Satuan Lalu Lintas Polres Manado yang dikabarkan bunuh diri di Manbang, Jakarta Selatan pada Kamis (25 April 2024) menarik perhatian banyak pihak.
Salah satu yang menarik perhatian adalah mengenai pengembangan spiritual anggota Korps Byangala.
Hal ini disoroti pengamat kepolisian dari Institute for Security Studies (ISESS), Bambang Lukmint, dan Dirjen Indonesia Police Watch (IPW) Suken Teg Santoso.
Pak Bambang mengungkapkan, pembunuhan terhadap orang oleh polisi merupakan hal yang lumrah.
Bahkan, kata dia, kejadian seperti itu terjadi di setiap tingkatan jabatan di Polri.
Demikian pula Pak Suken yang menekankan perkembangan psikologis anggota Bolly dalam lingkungan psikologis ketika mereka yang terlibat diperbolehkan memiliki senjata.
Terkait tewasnya Brigadir Riddal, ditemukan sepucuk pistol HS (Senbi) kaliber 9 mm yang diduga digunakan untuk menembak kepala dirinya sendiri.
Lantas bagaimana kedua belah pihak memaknai perkembangan psikologis kepolisian sebagai cerminan meninggalnya Brigadir Riddal yang diduga merenggut nyawanya?
Untuk mengevaluasi perkembangan mental para anggota, penting untuk mengungkapkan perasaan mereka yang sebenarnya.
Inspektur Polisi ISESS Bambang Lukmint mengungkapkan, kasus kematian Brigadir Ridal yang diduga bunuh diri sedang dipertanyakan publik.
Padahal, lanjutnya, aparat kepolisian dilatih untuk memiliki pola pikir yang kuat.
Ia pun mengingatkan, ini bukan kali pertama polisi melakukan bunuh diri, sudah berkali-kali terjadi.
Bahkan, lanjutnya, fenomena tersebut terjadi di setiap jenjang jabatan di Polri.
“Ini merupakan kejadian pertama kematian anggota polisi yang tidak wajar. Dan bisa terjadi di tingkat bintara, mulai dari bintara kapolsek setempat hingga kapolsek.”
“Kejadian seperti ini tentu menggemparkan masyarakat. Seorang polisi yang dididik mentalitas kuat justru lemah sehingga memutuskan bunuh diri,” kata Bambang, Sabtu (27 April (Minggu) kepada Tribunnews.com melalui SMS. /2024).
Selain kejadian-kejadian tersebut, Bambang juga mempertanyakan efektivitas Polri terhadap pembinaan mental anggotanya.
Pertanyaannya, apa yang salah dengan pembinaan mental aparat kepolisian bangsa kita?
Ia menegaskan, persoalan Brigjen Lidal yang bunuh diri dengan cara seperti itu harus diusut tuntas motif di baliknya.
Menurutnya, perlu adanya penilaian terhadap perkembangan mental anggota.
“Investigasi terhadap kematian tidak wajar petugas polisi tidak lengkap, dan sering kali hanya berakhir pada penyebab kematian tanpa mengungkapkan motif yang mendasarinya.”
Pak Bambang mengatakan, “Ungkapan niat penting dalam menilai perkembangan mental anggota.”
Polri harus menilai psikologi polisi sebelum mengizinkan orang memiliki senjata api
Secara terpisah, Ketua IPW Suken Teg Santoso juga menilai hal serupa juga terjadi di Pampang, di mana kejadian seperti yang dialami Brigadir Ridal yang mengakhiri karier polisi terulang kembali.
Oleh karena itu, perlu dikaji motif dan latar belakang polisi melakukan bunuh diri.
“Kita perlu mencari tahu apakah ada masalah keluarga, masalah pekerjaan, atau masalah lain yang berada di persimpangan (mengakhiri nyawanya),” kata Sugen kepada Tribunnews.com, Sabtu.
Suken juga mengatakan, dalam kasus seperti itu, Polri harus mengusut tuntas apakah ada anggota yang mengalami gangguan jiwa sebelum mengizinkannya memiliki senjata api.
Pak Sukeng mengungkapkan, tanda-tanda anggota Polri mengidap penyakit jiwa bisa dideteksi sejak dini.
Oleh karena itu IPW mendorong seluruh anggota Polri untuk angkat senjata dan mendirikan Pusat Kesehatan Psikologi Polri untuk mendiagnosis dan menangani masalah psikologis yang serius.
“Perlu didiagnosis dan gejalanya pasti ada,” ujarnya.
(Tribunnews.com/Johannes Riestoyo Poelwot)