Laporan reporter Tribunnews.com Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Realisasi penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) pada Februari 2024 sebesar Rp39,5 triliun atau turun 6,6 persen dibandingkan setoran CHT pada periode yang sama tahun lalu.
Tren tersebut sejalan dengan realisasi pendapatan CHT pada tahun 2023 yang hanya sebesar Rp213,5 triliun atau turun 2,4 persen dibandingkan tahun 2022.
Penurunan pendapatan CHT juga sejalan dengan beralihnya konsumsi rokok dari kelas tertinggi ke kelas 2 atau lebih rendah.
Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut kecuali struktur cukai diubah, sehingga mendorong perbedaan harga rokok yang besar antar kelompok di pasar.
Kepala Laboratorium Ekonomi Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Kun Haribowo mengingatkan pemerintah agar tidak terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa penurunan penerimaan cukai merupakan konsekuensi dari keberhasilan pengurangan dampak eksternal. dampak rokok.
Sebab masih banyak variabel lain yang perlu diperhatikan, seperti data konsumsi tembakau harian yang tidak berubah yakni 12 batang rokok per hari pada periode 2022-2023.
Berdasarkan informasi tersebut, Kun menyimpulkan pendapatan CHT berkurang, sementara konsumsi rokok tetap tinggi.
Artinya, cukai rokok saat ini belum dimanfaatkan secara efektif sebagai alat fungsi anggaran (penerimaan negara) dan bisnis reguler (untuk mengatasi eksternalitas dengan mengurangi jumlah perokok), kata Kun dalam keterangannya, Sabtu (1 /6/2024).
“Pemilu saja tidak cukup untuk meningkatkan penerimaan cukai tembakau, padahal di masa lalu Partai Demokrat umumnya berperan penting dalam meningkatkan penerimaan cukai rokok,” ujarnya.
Ia menjelaskan, tren peralihan konsumsi ke rokok murah sudah berlangsung selama beberapa tahun.
Pemerintah harus menyadari hal ini sejak awal ketika menyiapkan solusinya.
Saat ini belum ada langkah kebijakan yang diambil untuk menghentikan fenomena penurunan tersebut, karena penurunan realisasi CHT masih dianggap sebagai keberhasilan mengatasi eksternalitas.
Faktanya, menurunnya pendapatan CHT disebabkan oleh struktur kebijakan cukai yang berlaku saat ini, yang mendorong produsen rokok untuk menentukan strategi bisnis yang paling menguntungkan, termasuk memanfaatkan penurunan tarif cukai pada semua produk rokok.
Fenomena tersebut menunjukkan kebijakan tarif rokok yang ada saat ini belum optimal baik dalam rangka menurunkan jumlah perokok maupun sebagai sarana penerimaan negara, jelasnya.
Untuk menentukan tarif yang ideal, Kun mengatakan pemerintah harus menganalisisnya secara menyeluruh.
Salah satunya adalah perubahan struktur cukai rokok Indonesia dibandingkan struktur saat ini.
“Cukai rokok yang memadai menjadi bukti keberhasilannya dalam meningkatkan pendapatan negara dan menurunkan jumlah perokok di Indonesia,” jelasnya.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Anton Rizki Sulaiman mengatakan, pro dan kontra terhadap kebijakan tembakau masih terus dikembangkan.
Pihaknya juga merekomendasikan Kementerian Keuangan (Kemenke) untuk mengkaji pengaruh kenaikan harga dan tarif terhadap prevalensi merokok di masyarakat, serta tingkat penjualan dan bahaya produk tembakau ilegal yang lebih murah.
“Dari perspektif CIPS, fokus kebijakan harus pada pengurangan akses generasi muda terhadap produk tembakau melalui penegakan hukum dan kampanye informasi publik yang lebih terkoordinasi,” tutupnya.