TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga mengkritik wacana sistem pemilihan presiden yang dibawa kembali MPR.
Menurut dia, wajar jika ada penolakan terhadap perubahan pasal terkait sistem pemilu presiden karena dianggap bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat.
“Hal ini juga sejalan dengan semangat sistem demokrasi yaitu kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, presiden yang dipilih oleh rakyat harus mewakili suara rakyat,” ujarnya kepada wartawan, Senin (10/10). 6/2024).
Hal ini juga sesuai dengan konsep sistem pemerintahan presidensial.
Jamiluddin mengatakan, dalam sistem ini presiden dipilih oleh rakyat yang amanahnya berasal langsung dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
Oleh karena itu, tidak ada yang salah dengan pemilihan presiden langsung.
“Sistem ini benar-benar mencerminkan kedaulatan rakyat yang sebenarnya, tanpa harus diwakili oleh MPR. Hanya bisa terlaksana jika hukum Indonesia sah dan tegak serta hak asasi manusia (HAM) diakui oleh semua anggota masyarakat,” ujarnya. .
Selain itu, Jamiluddin juga tidak setuju alasan kembalinya sistem pemilu presiden langsung ke tidak langsung adalah karena maraknya politik uang.
Pasalnya, bila hal ini terjadi, yang jadi permasalahan bukan pada sistem pemilu presidennya, melainkan pada partai peserta pemilu presiden, termasuk calon presiden itu sendiri.
“Dalam konteks ini, peserta pemilu presiden, termasuk para kandidat, adalah mereka yang mengabaikan hukum dan hak asasi manusia. Dengan membenarkan kebijakan moneter, mereka justru tidak menghormati pelaksanaan undang-undang dan melanggar hak asasi manusia.” katanya.
“Karena itu, kalau melihat mahalnya biaya pemilu presiden langsung, sebenarnya bisa berasal dari peserta calon presiden dan calonnya. Mereka bisa membuat kebijakan uang, menyediakan kebutuhan pokok, biaya perjalanan dengan tim yang gemuk, memasang iklan. , serta biaya saksi,” imbuhnya.
Jamiluddin menambahkan, pemilihan presiden secara langsung akan menimbulkan perpecahan di masyarakat dan tidak logis. Sebab, berulangnya pemilihan presiden langsung, keutuhan NKRI masih tetap terjaga.
Oleh karena itu, perpecahan sosial dapat diatasi jika peserta pemilu presiden hanya menyampaikan visi, misi, dan program kerjanya. Calon presiden dalam pemilu tidak perlu menutupi calon presiden lainnya dengan pesan-pesan negatif.
Jadi, kalau semua sudah dilakukan, tidak boleh ada alasan yang kuat untuk mengembalikan pemilu presiden secara tidak langsung. Tidak bisa dilakukan karena akan mengembalikan Indonesia ke era Orde Baru, tegasnya.
Sebelumnya, Amien Rais mengaku setuju jika sistem pemilihan presiden dan MPR kembali seperti sebelum reformasi.
Hal itu disampaikannya usai mengunjungi pimpinan MPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (5/6/2024).
Amien mengaku naif saat mengubah sistem pemilihan presiden dari tidak langsung menjadi langsung dengan harapan bisa meredam politik uang.
“Jadi kenapa dulu saya sebagai Ketua MPR copot kekuasaan beliau sebagai lembaga tertinggi yang memilih presiden dan wakil presiden karena perhitungan kita sangat naif,” kata Amien.
“Sekarang permisi. Jadi tadi kita bilang, kalau kita pilih langsung satu orang satu suara, mana mau suap 120 juta pemilih, gimana? Butuh puluhan, mungkin ratusan triliun. Ternyata bisa saja Adalah Presiden MPR RI periode 1999-2004, Amien Rais, mengunjungi Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (5/6/2024).
Amien pun sepakat melakukan amandemen UUD 1945 untuk mengubah aturan pemilihan presiden.
“Itu tidak biasa (kebijakan suap). Jadi kalau mau kembali ke MPR sekarang halal kenapa tidak?” dia menjelaskan.