Penelitian dr Yopi Simargi : CT Scan Toraks Kuantitatif Bantu Turunkan Risiko Demensia Pasien PPOK

Laporan reporter Tribunnews.com Willem Zonata

TRIBUNNEWS.COM – Secara global, data WHO tahun 2019 mencantumkan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (COPD) sebagai penyebab kematian ketiga (3,23 juta).

Diperkirakan kematian akibat PPOK akan mencapai 5,4 juta pada tahun 2060.

PPOK sangat umum terjadi. Namun di Indonesia sendiri, PPOK bisa dikatakan kurang terdiagnosis dengan baik, hal ini terlihat dari data PPOK nasional yang masih terbilang sedikit.

Data Riskesdas menunjukkan prevalensi PPOK di Indonesia sebesar 3,7 persen berdasarkan wawancara pada penduduk berusia ≥ 30 tahun; Tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (10 persen) dan terendah di Provinsi Lampung (1,4 persen).

Sementara survei Asian Epidemiology and Impact of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (EPIC) menunjukkan prevalensi PPOK di Indonesia mencapai 4,5 persen.

Tanpa disadari, penyakit ini dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya.

Penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit peradangan jangka panjang pada paru-paru yang menyebabkan terhambatnya aliran udara melalui paru-paru.

Penderita akan mengalami sesak napas dan berisiko terkena infeksi sehingga memicu serangan akut atau eksaserbasi akut.

Selain itu, penyakit paru obstruktif kronik ekstrapulmoner, salah satunya gangguan kognitif (CI), perlu ditangani dengan baik.

Gangguan kognitif atau HK adalah suatu kondisi kognitif di mana seseorang berada dalam rentang antara penurunan fungsi kognitif seiring bertambahnya usia, dan penurunan fungsi kognitif pada demensia dini.

Dasar itu Dr. Yopi Simargi, Sp.Rad., Subsp. TR(K), MARS Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) untuk memperoleh gelar PhD.

Tesisnya berjudul “Peran CT Scan Toraks Kuantitatif, HIF-1α, dan Faktor Klinis pada Kejadian Gangguan Kognitif pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik.”

Studi ini menunjukkan pentingnya CT scan toraks kuantitatif (CTK) sebagai pemeriksaan tambahan pada pasien PPOK.

Selain dapat mendeteksi PPOK secara dini, metode ini juga dapat menunjukkan risiko gangguan kognitif (CI) pada penderita PPOK.

Oleh karena itu, penatalaksanaan holistik dapat dilakukan lebih awal, yang akan membantu mengurangi risiko demensia pada pasien PPOK (karena pasien HK memiliki risiko tiga kali lipat terkena demensia dalam 2-5 tahun).

Hipotesis awal yang diterima secara luas, hipoksia kronis dengan peningkatan ekspresi gen alfa HIF-1 dianggap sebagai dasar yang paling sering dikutip menyebabkan pasien PPOK mengalami HK.

Namun, temuan penting dari penelitian ini menunjukkan bahwa peradangan sistemik tingkat rendah mungkin merupakan faktor mendasar lain dalam pembentukan HK.

Hal ini dibuktikan dalam penelitian ini dengan korelasi langsung dan tidak langsung kerusakan paru yang ditunjukkan pada CTK.

Dr. Dr. Yopi Simargi, Sp.Rad., Subsp. TR(K), MARS, ahli radiologi radiologi toraks yang kini menyandang gelar PhD, dalam sidang terbuka hari ini menjelaskan bahwa “HK merupakan keadaan antara normal dan demensia, yang nantinya dapat berkembang menjadi demensia.”

PPOK dan demensia memiliki faktor risiko yang sama yaitu polusi udara, termasuk rokok yang dianggap sebagai polutan udara utama. Dalam sebuah penelitian terhadap 534 pasien PPOK dengan HK, 28,7 persen menderita demensia.

Hal ini kemudian terkait langsung dengan penurunan kemampuan kognitif mereka, termasuk peningkatan ketidakmampuan dalam merawat pasien PPOK seperti biasa, menurut HK.

“Ini bukan ketidaktaatan yang disengaja, tetapi pasien sering melupakannya karena menurunnya kemampuan kognitif mereka.”

Mengenai faktor pemicu terbentuknya HK pada penderita PPOK, ada banyak cara yang dapat dilihat, seperti: peradangan sistemik, hipoksia kronis, stres oksidatif, penyakit pembuluh darah, gaya hidup sedentary, dan adanya gangguan kognitif penyerta. Hipoksia yang berkepanjangan dianggap sebagai faktor terbesar yang mempengaruhi pasien PPOK terkena HK.

Namun, seperti yang dijelaskan sebelumnya, penelitian ini menemukan teori baru bahwa peradangan sistemik tingkat rendah merupakan faktor yang lebih penting.

Dr. Yopi yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Katolik Atmajaya Indonesia dan Kepala Pusat Radiologi RS Atmajaya mengatakan, “Sejauh ini hipoksia semakin meningkat. Pada ekspresi HIF-1 alpha (efektor respon homeostatis terhadap tekanan oksigen rendah), merupakan faktor yang sering dianggap sebagai faktor fundamental terjadinya PPOK.”

“Namun, dalam penelitian ini, saya berteori tentang patogenesis HK pada pasien PPOK, yang menunjukkan bahwa penyedia layanan kesehatan perlu lebih memperhatikan peradangan sistemik.”

Prinsip patologis ini diperoleh dengan melihat besarnya kerusakan paru (persentase LAA) yang dapat dideteksi dengan CT scan toraks (CTK) kuantitatif.

“Harapannya kedepannya CTK dapat dimasukkan dalam pedoman sebagai pemeriksaan rutin pada pasien PPOK. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mekanisme dasar terbentuknya HK pada PPOK adalah inflamasi sistemik derajat rendah selain hipoksia,” lanjutnya. . .

Sejauh ini, belum ada penelitian yang dilakukan untuk menganalisis peran parameter CTK dalam patologi HK.

HK dapat dideteksi sejak dini pada PPOK berat, namun pada tahap awal PPOK, HK sering kali tidak terdeteksi, sehingga dapat menyebabkan hilangnya peluang pengobatan dini ketika HK muncul.

Temuan ini diharapkan dapat membantu dalam pengelolaan PPOK. “Teori patofisiologi yang diajukan ini telah diterima dalam publikasi jurnal internasional khususnya PPOK dengan indeks Scopus Q1 yang tinggi, yaitu International Journal of COPD,” kata Dr. Ya

Padahal, hingga saat ini, imbuhnya, diagnosis PPOK berdasarkan pedoman yang berlaku saat ini masih ditegakkan dengan spirometri, dimana pasien harus meniup alat untuk menilai fungsi paru-paru untuk melihat apakah ada sumbatan atau hambatan. diterima

Penggunaan CTK pada PPOK masih sangat terbatas, seperti pada kelompok risiko tinggi seperti pasien kanker paru atau saat ingin menjalani screening sebelum operasi besar.

“Jadi hasil penting parameter CTK dengan HK, dan cara mempelajari inflamasi sistemik pada pasien PPOK, maka dapat disarankan untuk menggunakan CTK terlebih dahulu agar dapat menjadi warning adanya HK pada pasien PPOK dan pasien dapat segera dideteksi. .Secara paralel benar untuk HK Mendapatkan kendali, ”Dr. Ya

Mengenai data parameter CTK tersebut yaitu low-density lung area (%LAA) yang digunakan untuk mendeteksi kerusakan paru kemudian mempengaruhi fungsi paru dan HK.

Semakin luas area paru dengan kepadatan rendah, semakin besar pula risiko terjadinya HK akibat berkurangnya fungsi paru.

Hal ini menjadikan parameter CTK ini layak digunakan sebagai skrining utama untuk deteksi dini gangguan fungsi paru dan kasus HK.

Intinya, penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa PPOK mempengaruhi kejadian HK. Oleh karena itu, CTK perlu menemukan potensi tersebut dengan cepat.

Namun, dampaknya terhadap berkurangnya kemandirian dan kualitas hidup, serta peningkatan rawat inap, harus dipertimbangkan.

Hal ini menunjukkan bahwa peran support system sangat penting bagi pasien PPOK dengan HK.

Penderita PPOK dengan HK tentu mengalami penurunan fungsi kognitif, terutama yang sudah memasuki tahap demensia. Tantangan terbesarnya adalah mereka kurang patuh berobat karena sering lupa.

Oleh karena itu perlunya kesadaran dari sistem pendukung seperti keluarga dan teman dekat agar mereka dapat hadir untuk mengingatkan pasien tentang pengobatannya.

Selain itu, kolaborasi multidisiplin antara ahli paru, dokter, ahli radiologi, ahli saraf, dan psikiater sangat penting dalam pengobatan penyakit paru obstruktif kronik.

“Pendidikan diperlukan untuk meningkatkan kesadaran para dokter, penyedia layanan kesehatan, pengambil kebijakan, dan keluarga pasien sehingga tantangan manajemen dapat diatasi dengan tepat,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *