Peneliti dan Pemerhati Terorisme Bicara soal Bubarnya Jamaah Islamiyah: Tidak Ada Pihak yang Menekan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tokoh senior kelompok Al Jamaah Al Islamiyah atau Jemaah Islamiyah atau JI, Ustaz Abu Fatih mengatakan, kelompoknya punya solusi dengan aparat keamanan, pemerintah, dan negara Indonesia.

Istilah Islah dalam bahasa Arab dan tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadits berasal dari kata ‘ashlahayushlihu-ishlahan’ yang berarti perbaikan, keamanan dan kedamaian.

Ustaz Abu Fatih alias Abdullah Anshori alias Ibnu Muhammad Thoyib pun meminta maaf kepada aparat keamanan, pemerintah, dan masyarakat Indonesia atas apa yang terjadi selama ini.

“Kami akhirnya memilih jalan memaafkan setelah melalui perjalanan panjang berdialog dan menilai kembali apa yang kami lakukan. Pikiran kami akhirnya terbuka terhadap langkah kami di masyarakat,” kata Abdullah Anshori di hadapan tim Tribun, Senin Rabu (17/7). ). /2024).

Pernyataan tokoh sesepuh alias Ustaz Anshori itu disampaikan secara khusus dan langsung di tempat yang kerap menjadi titik komunikasi kelompok ini di kawasan Gonilan, Kartasura, Sukoharjo.

Saat menyampaikan keterangan khususnya, Ustaz Abu Fatih atau Abdullah Anshori didampingi tiga eks anggota Jemaah Islamiyah.

Sabarno alias Amali yang pertama. Pria ini pernah menjadi anggota toliah, salah satu cabang Jemaah Islamiyah yang juga membawahi kelompok prajurit tandzim askari atau JI.

Sabarno alias Pak Sabar memutuskan menyerahkan diri kepada Densus 88 Anti Teror melalui perantara senior JI.

Dia mengundurkan diri ketika mendengar JI mengundurkan diri atau mengundurkan diri.

Ada pula Dodi alias Fiko, mantan anggota Departemen Hukum dan Pelayanan yang aktif di Yayasan Perisai Nusantara.

Yayasan ini telah dihentikan sejak didirikan untuk memenuhi misi JI dalam mendukung dan melayani kebutuhan jaringan.

Pendamping ketiga adalah Ustaz Hasan yang pernah aktif di divisi dakwah Jemaah Islamiyah.

Ia menghabiskan beberapa waktu di penjara karena perannya sebagai perekrut dan penyeleksi kader JI.

Bagian ini mempunyai tugas antara lain merekrut dan menyeleksi anggota untuk ditempatkan pada bidang yang sesuai dengan kualifikasi rekrutmen.

Ustaz Anshori yang akrab disapa Abdullah Sungkar pada tahun 1993, pendiri dan Amir (pemimpin) Jemaah Islamiyah di Malaysia, juga meminta maaf kepada aparat keamanan, pemerintah, dan masyarakat Indonesia atas segala perbuatan rakyatnya yang mempersulit keadaan. publik. negara

“Kami mohon maaf sebesar-besarnya jika kami Al Jamaah Al Islamiyah dalam banyak hal telah menyulitkan negara, menyibukkan negara, hal yang seharusnya tidak kami lakukan, namun dengan ilmu dan kesadaran ini alhamdulillah khususnya bagi para masyarakat Indonesia, kami turut berduka cita,” kata Abu Fatih.

Lantas apa pendapat pengamat soal pembubaran Jemaah Islamiyah?

Berikut komentar Khoirul Anam, peneliti dan pengamat terorisme Indonesia:

Secara pribadi, saya sangat yakin dan yakin mereka benar-benar putus. Pertama karena keputusan ini datang dari mereka sendiri. Tidak ada pihak luar yang bisa mendorong atau menekan mereka.

Jadi ini adalah keputusan mereka sendiri. Ketika saya tanya ke petinggi JI, mereka menjawab satu alasan, karena informasi.

Sejak awal, JI sedikit berbeda dengan kelompok teroris radikal lainnya. Menurut pengakuannya sendiri, JI hanya didasarkan pada ilmu pengetahuan.

Alasan JI terbentuk pertama kali adalah karena ilmu pengetahuan. Jadi sekarang mereka harus berhenti, menghentikan organisasi ini karena alasan yang sama, yaitu pengetahuan.

Mereka sudah lama mencoba mempelajari ajaran-ajaran yang mereka anut, misalnya tafsir jihad, konsep al wala’ wal bara’.

Kemudian mereka mengambil keputusan terbaik saat ini, berhenti atau keluar dari organisasi.

Proses ini sudah berlangsung lama, bahkan sejak akhir tahun 1990-an. Abdullah Sungkar, Abu Bakar Baasyir dan Abu Rusydan bersama-sama mendirikan JI. Sebuah dinamika yang terjadi saat itu. Pada tahun 1999, Abu Bakar Baasyir keluar dari JI karena merasa telah keluar dari Jemaah Islamiyah.

Alasan keluar dari JI adalah karena Abu Bakar Baasyir berpendapat bahwa jihad yang dilakukan JI tidak boleh lagi disembunyikan atau dirahasiakan.

Namun kelompok JI menentang pandangan tersebut.

Pada tahun 2003, ketika beberapa pemboman teroris dan penangkapan berikutnya terjadi, pembicaraan tentang pensiun muncul kembali.

Salah satu alasan dan pertimbangannya, jika jihad benar di jalan Allah, maka jihad harus berhasil dan tidak ada anggota yang ditangkap.

Sebaliknya, bagi JI, musuh terbesar yang harus dilawan adalah penjajah asing, seperti Amerika Serikat, yang dianggap menindas umat Islam.

Namun kenyataannya yang menjadi korban bukanlah orang Amerika, bukan tentara Amerika, melainkan sebagian besar warga Australia, bahkan memakan korban jiwa warga Indonesia.

Ini adalah hal-hal yang disesalkan. Bagi JI, peristiwa bom Bali (2002) bukanlah perbuatan JI, karena JI sebagai organisasi tidak memberi wewenang dan tidak memerintahkannya.

Kajian-kajian tersebut terus berlanjut hingga mencapai titik akhir pada tanggal 30 Juni 2024 ketika Deklarasi Sentul dibacakan.

Tentu saja deklarasi tersebut didahului dengan temu kajian para tokoh JI, dan akhirnya dilaksanakan di suatu tempat di Solo pada 29 Juni 2024.

Bagi saya, yang juga cukup mengejutkan adalah aparat keamanan tidak menyangka dengan apa yang terjadi, dalam hal ini Densus 88 Anti Terorisme.

Maksudku, bagaimana hal itu bisa berjalan begitu cepat. Namun hal ini menggembirakan karena JI merupakan organisasi besar di Indonesia, bahkan mungkin yang terbesar di Asia Tenggara.

Saya juga bertemu orang-orang dari Kementerian Agama, mereka kaget, tapi juga senang. Namun tidak bisa dipungkiri ada pihak yang kaget dan curiga.

Mencurigakan, mungkin ini gimmick, mencurigakan, mungkin ini kamuflase, ini hanya upaya mereka untuk menghentikan pengawasan berlebihan yang dilakukan aparat keamanan.

Tapi saya sangat yakin ini bukan kepura-puraan. Mereka akan sangat serius. Buktinya, selain berani melontarkan pernyataan, mereka juga banyak menuliskan janji.

Antara lain, setelah mereka pensiun, mereka akan menyerahkan albass atau alat, bahan (bahan peledak) dan senjata yang tidak diketahui polisi di mana disimpannya.

Saya dengar, belum lama ini, petugas Densus terjun ke Bengawan Solo, mencari senjata yang dibawa anggota yang memberi tahu kami keberadaannya.

Mereka juga mengatakan akan menyerahkan OCS. Ada OCS yang dicari 7-12 tahun tidak ada, tiba-tiba setelah ada berita sepertinya orang tersebut menyerah.

Tentu saja difasilitasi oleh sesepuh JI yang menjalin dan menjaga komunikasi dengan pihak keamanan.

Jadi yang terpenting kedua, karena JI berafiliasi dengan banyak pesantren, jumlahnya lebih dari 40 dan jumlah santrinya bisa sampai 16 ribu, maka mereka bersedia kurikulum asesmennya.

Hal ini serius dan meyakinkannya bahwa keputusan tersebut bukanlah gimmick.

Kementerian Agama pun langsung bereaksi terhadap pandangan tersebut dan segera mengirimkan pejabat di bidang tersebut untuk berdialog.

Hal ini tentu saja sejalan dengan apa yang saya dengar dari tokoh-tokoh penting JI, seperti Ustad Para Wijayanto dan Ustad Siswanto.

Mereka menekankan bahwa JI pada dasarnya tidak dirancang sebagai gerakan melawan negara (Indonesia). Ini bukan organisasi anti-pemerintah.

Dua kunci utama JI adalah ilmu dan Jihad. Setidaknya demikian yang diungkapkan para petinggi Jemaah Islamiyah terkini.

Menurut Ustaz Para Wijayanto, mungkin ada kelompok yang punya ilmu kuat tapi tidak punya jihad. Ada orang yang kuat berjihad, namun tidak mempunyai ilmu.

Mengenai peran dan partisipasi JI sebagai organisasi dalam berbagai aksi terorisme di Indonesia, kita dapat melihatnya dalam berbagai kasus dan putusan pengadilan.

Sejauh ini, secara formal, secara organisasi, JI belum atau belum pernah terbukti terlibat. Misalnya, untuk merancang, mendukung dan/atau memesan pengeboman jika diperlukan.

Namun dalam berbagai kasus, adanya anggota JI atau setidaknya pernah menjadi anggota JI, merupakan kenyataan dan fakta yang tidak dapat disangkal.

Para tokoh JI juga menyadari kenyataan ini. Menurut mereka, ada dua hal yang terjadi.

Para pelaku telah meninggalkan kesetiaan mereka kepada JI, atau bertindak di luar kendali pimpinan.

Maka dalam konteks inilah saya akhirnya melihat beban yang dihadapi para tokoh senior JI ini, karena merekalah yang mendirikan, merekrut, dan memimpin orang-orang tersebut (Jaringan Tribun/Setya Krisna Sumarga).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *