Laporan jurnalis Tribunius Mario Christian Sumampou
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Ianto telah memperjelas tata cara penangkapan hakim, termasuk persetujuan Ketua Pengadilan Tinggi.
Hal itu terungkap dalam jumpa pers di Media Center MA, Jakarta Pusat, Kamis (24/10/2024), usai ditangkapnya tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang ditangkap terkait dugaan suap dan gratifikasi.
Ianto menjelaskan, menurut Pasal 26 Ayat 2 UU No. 2 Tahun 1998 tentang Peradilan Umum, bahwa Presiden, Wakil Presiden, atau Hakim memerlukan izin Ketua Pengadilan Tinggi untuk melakukan penangkapan.
Namun ada pengecualian jika penangkapan terjadi pada saat pengangkatan.
“Ini Pasal 26, Ayat 2 Tahun 1998, UU No. 2 tentang Peradilan Umum, dalam hal Ketua, Wakil Ketua, dan hakim dapat ditangkap oleh Jaksa Agung dengan izin Ketua Pengadilan Tinggi. Kecuali kalau ketahuan, kalau ditangkap tidak ada izinnya. Itu perlu,” jelas Ianto.
Ianto memastikan, izin hakim ketua tidak diperlukan untuk penangkapan tiga hakim di Pengadilan Negeri Surabaya karena mereka tertangkap dalam operasi yang dilakukan Kejaksaan Agung.
“Izin Ketua Hakim diperlukan jika mereka tidak tertangkap. “Jadi dalam hal ini tidak perlu izin,” ujarnya.
Ianto juga mengklarifikasi peran Komisi Yudisial (KY) terkait dugaan pelanggaran Kode Etik Peradilan.
Menurut dia, usulan KY tersebut mengacu pada pelanggaran kode etik, dan larangan sementara yang berlaku saat ini terkait dengan aparat penegak hukum.
Sebagai informasi, tiga hakim PN Surabaya ditangkap Tim Penyidik Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Jaksa Agung di Kejaksaan Agung pada Rabu (23/10/2024).
Tiga di antaranya diduga menerima suap dan suap dalam kasus pidana umum di Pengadilan Negeri Surabaya.