Pemerintah Nantikan Revisi Perpres 191 untuk Penerapan BBM Rendah Sulfur Pada Transportasi

Laporan reporter Tribunnews.com Endrapta Pramudhiaz

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – PT Pertamina (Persero) menunggu peninjauan kembali Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Eceran Bahan Bakar Minyak untuk Penerapan Bahan Bakar Minyak Rendah Sulfur.

Senior Vice President Business Development PT Pertamina (Persero) Wisnu Medan Santoso menjelaskan, peninjauan tersebut direncanakan karena Pertamina sebagai BUMN juga harus mendapat kompensasi berupa uang.

Hal itu disampaikan Wisnu pada diskusi Penguatan BUMN Menuju Indonesia Emas bertema “Menjawab Tantangan Transformasi Energi Menuju Net-Zero Emission” di Sarinah, Jakarta Pusat, Selasa (10/9/2024).

“Kami menunggu pemerintah mengkaji ulang Perpres tentang penyaluran BBM, karena tentunya sebagai BUMN kami juga harus mendapat kompensasi berupa uang untuk biaya tambahan. Siapa yang akan membayar tagihannya,” katanya.

Ia mengaku memahami tujuan pemerintah meningkatkan kualitas bahan bakar hingga standar Euro 4.

Melalui investasi pada Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan sekitar US$5 miliar, kata dia, nantinya Pertamina bisa memproduksi bahan bakar berkualitas Euro 5.

“Nah, kalau mau upgrade kilang lain, investasinya bagus sekali. Kalau kita bangun unit hydrotreatment di kilang kita yang lain, hampir $2 miliar,” kata Wisnu.

Sementara itu, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) akan menerapkan bahan bakar minyak (BBM) rendah sulfur.

Penggunaan bahan bakar rendah sulfur nantinya akan digunakan untuk mengangkut kendaraan roda dua dan empat.

Terkait hal tersebut, pakar energi Ferdy Hasiman menilai Indonesia dalam hal ini Pertamina sudah siap memproduksi dan mendistribusikan bahan bakar rendah sulfur.

Ketentuan ini sejalan dengan kebijakan progresif Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang menerapkan bahan bakar minyak (BBM) rendah sulfur pada sektor transportasi seperti sepeda motor dan mobil di seluruh Indonesia.

“Pertamina sangat siap untuk mempercepat kebijakan pemerintah,” kata Ferdy dalam keterangannya, Kamis (05/09/2024).

Ketentuan ini, lanjut Ferdy, tidak lepas dari peran BUMN energi yang ditugaskan undang-undang untuk menyiapkan bahan bakar jenis apa pun untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Menurut informasi, kilang Pertamina di Balongan siap memproduksi produk solar rendah sulfur sebanyak 900 ribu barel per bulan, jelas Ferdy.

“Pertamina siap mendistribusikan produk bahan bakar rendah sulfur baru ini karena produk bahan bakar rendah sulfur telah diproduksi di kilang-kilang Pertamina,” lanjutnya.

Ferdy mencontohkan bahan bakar rendah sulfur yang selama ini diproduksi Pertamina seperti Pertamax Turbo dan Pertamina Dex.

Kedua jenis bahan bakar tersebut, lanjutnya, mengandung bahan bakar sulfur rendah yaitu 50 ppm.

Pertamina Dex misalnya, merupakan solar dengan cetane number (CN) tertinggi yang dijual Pertamina, yakni CN 53 dengan kandungan sulfur 50 ppm.

Ferdy mengatakan bahan bakar tersebut mampu menjaga mesin dan meningkatkan tenaga mesin secara maksimal.

“Bahan bakar jenis ini juga dapat menjaga lingkungan dengan emisi gas buang yang rendah dan setara dengan standar Euro 4,” jelas Ferdy.

Sedangkan bahan bakar Dexlite merupakan varian solar yang memiliki CN minimal 51 dan mengandung sulfur maksimal 1.200 ppm. Bahan bakar jenis ini juga aman bagi lingkungan,” lanjutnya.

Di sisi lain, Ferdy menilai kebijakan pemerintah itu positif.

Menurutnya, kebijakan pemerintah menerapkan bahan bakar rendah sulfur merupakan langkah yang berani dan sangat masuk akal.

“Langkah pemerintah ini patut disambut dan diapresiasi oleh masyarakat di Indonesia untuk menjaga ekosistem lingkungan yang nyaman bagi kehidupan bermasyarakat,” ujarnya.

Senada, Ferdy mengingatkan, harga bahan bakar rendah sulfur justru lebih tinggi dibandingkan harga bahan bakar yang lebih banyak mengandung sulfur.

Hal ini, lanjutnya, tentunya harus menjadi pertimbangan penting.

Sebab jika disalurkan ke seluruh Indonesia tentu akan berdampak pada kenaikan harga BBM.

“Jika pemerintah tidak ingin membebani masyarakat miskin dengan harga yang tinggi, sebaiknya pemerintah mengeluarkan dana APBN untuk memberikan subsidi agar bahan bakar harga rendah sulfur dapat didistribusikan ke seluruh Indonesia,” lanjutnya.

Untuk itu, kata Ferdy, kebijakan tersebut tidak perlu diterapkan di seluruh Indonesia.

Pasalnya, masih banyak wilayah di Indonesia yang udaranya bersih dan sehat.

Prioritas kebijakan harus dimulai di wilayah dengan polusi tinggi, seperti Jakarta. Hal ini penting, tambah Ferdy, untuk mengurangi beban APBN.

Sedangkan untuk pendistribusiannya sendiri, Ferdy mengatakan Pertamina siap dan akan menjual bahan bakar rendah sulfur tersebut.

“Pertamina memilih Jakarta sebagai awal penerapan kebijakan ini, mengingat tingginya polusi udara di Jakarta. Pertamina siap menjual solar rendah sulfur di tiga SPBU di Jakarta,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *