Pemerintah Diminta Tak Pakai Cara Tega ke Rakyatnya Cari Uang Pariwisata di Tiket Pesawat

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah tengah membahas kemungkinan menuntut kompensasi wisatawan atas biaya tiket pesawat.

Namun wacana tersebut ditolak oleh berbagai pihak karena membebani masyarakat yang saat ini berada di bawah tekanan ketidakpastian perekonomian global.

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfanyaputra sangat tidak setuju dengan pernyataan pemerintah yang akan menaikkan harga tiket pesawat.

“Nantinya, harga yang harus dibayar oleh penumpang pesawat akan naik, dan tentu pihak maskapai yang harus disalahkan. Meski dana (pajak pariwisata) hanya “mengalir,” kata Irfan saat diwawancara Tribunnews.com, Rabu (24/04). /2024).

Pemerintah harus menggunakan mekanisme terbuka dan langsung dalam memungut retribusi pariwisata, katanya. Garuda tak ingin masyarakat disalahkan karena terus menaikkan harga, padahal sudah bertahun-tahun tidak mengalami kenaikan.

“Selama 5 tahun TBA (tarif batas atas) kita tidak pernah dinaikkan. Airport tax yang termasuk dalam harga tiket dinaikkan. Ada yang tanya di bandara atau tidak? Tidak,” jelasnya.

Untuk melanggar hukum

Sigit Sosiantomo, Anggota Komisi V DPR RI, menilai rencana pemerintah menerapkan pajak wisata bagi penumpang pesawat berpotensi melanggar hukum.

Sigit menolak rencana pemerintah tersebut. Selain berpotensi melanggar hukum, hal ini juga akan membebani penumpang dengan membuat tiket pesawat semakin mahal.

“Saya menolak rencana pemerintah memungut pajak wisata dari penumpang pesawat,” kata Sigit saat dikonfirmasi, Selasa (23 April).

Menurut Sigit, retribusi pariwisata berpotensi melanggar UU Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009. Berdasarkan Pasal 126 UU Penerbangan, penetapan tarif penumpang untuk pelayanan kelas ekonomi dihitung berdasarkan komponen tiket jarak jauh, pajak, iuran asuransi wajib, dan biaya tambahan.

Undang-undang ini mendefinisikan biaya tambahan sebagai biaya yang dikenakan karena maskapai penerbangan mengeluarkan biaya tambahan di luar perhitungan tarif jarak jauh, termasuk biaya perubahan harga bahan bakar (fuel surcharge) dan biaya yang terkait dengan angkutan udara. operator. karena ketika penerbangan berangkat atau pulang tanpa penumpang, misalnya saat hari raya.

“Dalam UU Penerbangan sudah jelas bahwa penetapan harga tiket pesawat memiliki empat komponen yaitu tarif jarak, pajak, asuransi, dan pajak,” jelas Sigit.

Sigit menambahkan, tarif wisata yang akan dikenakan pemerintah jelas belum termasuk pajak yang mungkin dibebankan kepada penumpang dalam harga tiket.

“Pajak dan retribusi memiliki arti yang sangat berbeda. Dan dalam undang-undang penerbangan sendiri tidak ada terminologi pajak turis. Pemerintah tidak boleh main-main karena jelas bisa melanggar hukum,” kata Sigit.

Di sisi lain, Sigit mengingatkan, dalam menentukan harga tiket pesawat perlu memperhatikan daya beli masyarakat sebagaimana diatur dalam UU Penerbangan.

Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (CSTA) melaporkan inflasi tahunan pada tahun 2023 akan tergolong rendah karena adanya penurunan komponen inflasi inti yang mengindikasikan melemahnya daya beli masyarakat.

Selain keempat komponen penentu di atas, daya beli masyarakat juga harus diperhitungkan dalam menentukan harga tiket pesawat, sebagaimana dijelaskan pada ayat (3) Pasal 126 UU Penerbangan. Dari data inflasi BPS tahun lalu, kita dapat menyimpulkan bahwa daya beli masyarakat kurang baik.

“Sebaliknya, setiap penumpang di pesawat sudah dikenakan Passenger Service Charge (PSC). Jika mereka terpaksa membebankan pajak turis lagi, itu sama saja dengan membebankan biaya tambahan ganda kepada penumpang. Dan tidak semua Penumpang menaiki pesawat untuk tujuan wisata,” kata Sigit.

Melihat berbagai pertimbangan tersebut, Sigit menegaskan penerapan pajak wisatawan tidak praktis dan meminta pemerintah membatalkan rencana tersebut.

Tugas pemerintah, lanjutnya, adalah menjamin harga transportasi yang sederhana dan terjangkau bagi masyarakat. Daripada membebaninya dengan mengeluarkan Perpres yang justru bisa melanggar hukum demi menuntut masyarakat.

“Dengan harga pesawat saat ini sudah banyak yang mengeluh, apalagi jika ditambah komponen kontribusi terhadap pariwisata. Oleh karena itu, saya tegaskan kembali, saya menolak rencana tersebut. Berhentilah membebani masyarakat,” kata Sigit.

Sebelumnya, pemerintah menyiapkan rancangan keputusan presiden (Perpres) tentang Dana Pariwisata Berkelanjutan atau Indonesia Tourism Fund. Salah satu yang menjadi fokus adalah sumber pendanaannya yang bersumber dari retribusi pariwisata.

Pemerintah berencana memberlakukan pajak turis untuk penumpang pesawat. Kontribusi akan dimasukkan dalam komponen perhitungan tiket pesawat.

Rencana tersebut diketahui dari undangan Rakor pembahasan rancangan Perpres Dana Pariwisata Berkelanjutan yang dikeluarkan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang diterbitkan pada 20 April lalu.

Sulit bagi masyarakat

Asosiasi Pengguna Maskapai Penerbangan Indonesia (APJAPI) mengatakan wacana pemerintah mengenai pajak pariwisata melalui tiket pesawat yang akan tertuang dalam Keputusan Presiden (Perpres) Dana Pariwisata Berkelanjutan akan memberatkan pelaku perjalanan udara.

Presiden APJAPI Alvin Lee mengatakan kondisi saat ini tidak ideal untuk pengumpulan tagihan listrik. Sebab, daya beli masyarakat belum pulih. Selain itu, kontribusinya dinilai tidak tepat sasaran.

“Meski uangnya tidak masuk ke maskapai, tapi akan dikritisi pihak maskapai dan Kementerian Perhubungan. Kalau ini untuk mendanai program salah satu kementerian, kenapa mereka harus memungut biaya dari masyarakat?” Kenapa tidak pakai APBN?” kata Alvin menanggapi pemberitaan Tribunnews, Rabu (24/4/2024).

Alvin khawatir setiap kementerian akan mengambil langkah serupa dengan memungut biaya dari masyarakat. Dampaknya, masyarakat dikenai pajak. Oleh karena itu, penerapan pajak wisatawan melalui tiket pesawat patut dipertanyakan.

“Mengapa penumpang pesawat dianiaya? Mengapa mereka bukan tamu hotel atau tamu tempat wisata? Ini aneh. Memang setiap penumpang pesawat itu kaya. Pantaskah pendanaan program kementerian diserahkan kepada masyarakat,” kata Alvin.

Alvin menjelaskan, tidak seluruh penumpang pesawat tersebut merupakan wisatawan. Kategori ini diyakini memerlukan lebih banyak detail. Misalnya, kata Alvin, yang membedakan apakah seseorang bepergian untuk urusan bisnis atau mengunjungi tempat wisata.

“Mengambil dana dari masyarakat bukanlah pengelolaan yang baik. Kalau programnya bagus pasti didanai APBN. Apa gunanya APBN kalau dari luar sih. Saya belum lihat Menpar apa, Program promosinya sama seperti di luar negeri, seperti yang dipromosikan di Danau Toba, Manado, dan Raja Ampat misalnya, tambah Alvin.

Alvin juga menyoroti klaim peningkatan jumlah wisatawan asing ke Indonesia. Padahal, kata Alvin, terminologi wisatawan berbeda dengan terminologi orang yang melakukan perjalanan lintas batas negara. Diduga, wisatawan dihitung berdasarkan berapa banyak orang yang mengunjungi objek wisata tersebut. Dia menegaskan kembali bahwa rencana pemerintah untuk memperkenalkan pajak turis harus ditolak.

“Wacana ini harus kita tolak tegas, jangan dibiarkan berkembang, akan menjadi masalah bagi banyak orang, apa manfaatnya, apa pengawasannya, apa tanggung jawabnya. Saya melihat prinsip-prinsip good governance diabaikan oleh semua orang,” jelas Alvin. .

Masih tertunda

Deputi Bidang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Odo R.M. Manuhutu mencatat, persoalan pajak pariwisata bagi penumpang pesawat masih terus dikaji.

Studi ini mengamati berbagai faktor seperti dampak ekonomi dan sosial.

Selain itu, penelitian ini juga mengkaji upaya untuk mendukung peningkatan trafik wisatawan domestik yang ditargetkan.

“Berbagai kebijakan terkait pariwisata berkualitas dirancang untuk memberikan manfaat signifikan yang dampaknya akan dirasakan masyarakat. “Upaya ini juga mendukung Indonesia Emas 2045,” kata Odo.

Lebih lanjut Odo mengatakan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi terus berupaya mengembangkan dan meningkatkan kualitas pariwisata di Indonesia.

Dalam program Bangga Berwisata Indonesia (BBWI), pemerintah menetapkan target pariwisata dalam negeri sebesar 1,25-1,5 miliar perjalanan pada tahun 2024, dengan potensi pendapatan pariwisata sebesar Rp3.000,78 triliun.

Tujuan tersebut tertuang dalam BBWI dan didukung oleh beberapa kebijakan antara lain potongan tarif, integrasi paket wisata dengan kereta api, penyelenggaraan event nasional dengan sistem perizinan terpadu melalui OSS (Online Single Submission).

Odo mengatakan, 85 persen pariwisata dalam negeri menggunakan transportasi darat, 3 persen lewat jalur air, dan 12 persen lewat jalur udara.

Faktor penentu harga tiket pesawat 72% ditentukan oleh empat aspek. Jumlah tersebut adalah bahan bakar penerbangan (35%), overhaul dan pemeliharaan pesawat, termasuk impor suku cadang (16%), sewa pesawat (14%) dan premi asuransi pesawat (7%).

Selain itu, tarif di Indonesia juga terkena dampak penurunan jumlah pesawat yang beroperasi dari sekitar 400 pesawat sebelum pandemi menjadi lebih dari 750 pesawat, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan.

“Hal lain yang mempengaruhi adalah kondisi geopolitik di berbagai kawasan di dunia yang mempengaruhi kenaikan harga bahan bakar jet,” ujarnya.

Dijelaskannya, untuk mendukung upaya penetapan harga tiket pesawat, khususnya yang berkaitan dengan perbaikan dan perawatan pesawat, salah satu langkahnya adalah dengan disahkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2024 tentang perubahan Peraturan Menteri Perdagangan tersebut. Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Ketentuan Impor.

Keputusan tersebut melonggarkan kebijakan larangan terbatas impor suku cadang untuk perbaikan pesawat atau industri maintenance, repair and overhaul (MRO) bagi operator penerbangan.

Raperda ini bertujuan untuk menciptakan ekosistem pariwisata yang berkualitas berdasarkan empat pilar, yaitu daya saing infrastruktur dasar, pengelolaan pariwisata berkelanjutan, destinasi unik, dan jasa pariwisata bernilai tinggi.

Salah satu upaya khusus untuk menjamin pariwisata berkualitas adalah pelestarian lingkungan hidup, antara lain dengan memulihkan hutan mangrove yang mempunyai kapasitas besar dalam menyerap karbon.

“Menurut penelitian CIFOR, hutan bakau merupakan salah satu hutan paling kaya karbon di daerah tropis, mengandung lebih dari 1000 mg karbon per hektar (Centre for International Forestry Research Brief – CIFOR 2023),” tutup Odo.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *