Pemerintah Diharap Evaluasi Program Harga Gas Bumi Tertentu

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Persatuan Perusahaan Gas Indonesia (IPGI) meminta pemerintah mempertimbangkan program penetapan harga gas alternatif (HGBT).

Ketua Eksekutif IPGI Eddie Asmanto mengatakan program HGBT hanya menguntungkan industri inti.

Kata Eddy Asmanto dalam jumpa pers di Jakarta Timur, Jumat (28/6/2024) “Tidak menguntungkan mereka yang berada di daratan.”

Menurut Eddy, LGBT juga membebani APBN.

Anggaran negara untuk LGBT sebesar Rp 29,39 triliun pada tahun 2021 dan 2022.

Pasalnya, dengan diterapkannya kebijakan HGBT, tidak terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja dan daya saing perusahaan.

Eddy mengatakan, pihaknya sudah memberikan komentar kepada pemerintah mengenai peninjauan kembali program HGBT, dalam hal ini melalui Kementerian Energi dan Pertambangan yang melanjutkan program tersebut.

“HGBT akan dilaksanakan pada tahun 2020 dan selesai pada akhir Desember 2024,” ujarnya.

Eddy pun membeberkan alasan pihaknya saat membuat HGBT mengusulkan HGBT sebagai salah satu cara untuk mendorong perkembangan dunia usaha tanah air, khususnya di tujuh sektor tersebut.

Namun pelaksanaannya salah, tidak sesuai tujuan.

“Makanya program HGBT ini perlu diuji,” ujarnya.

Eddy mengatakan soal pembentukan panitia kerja LGBT (luar) dan Komisi VII DPR RI pihaknya bertemu dengan Komisi VII.

Namun, belum terjadi apa-apa.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal IPGI Andi Rahman mengatakan program HGBT belum membuahkan hasil.

Dia mencontohkan, harga pupuk mineral tinggi dan listrik tidak turun, meski dua sektor terkait mendapat manfaat dari HGBT.

“Meski harga gas murah, listrik tidak pernah turun. Oleh karena itu, pupuk menjadi langka dan mahal bagi petani,” tambahnya. Perubahan nilai tukar Dolar Amerika Serikat ke Rupiah selama periode waktu yang lama terlihat jelas di halaman riwayat nilai tukar ini.

Eddy Asmanto juga mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS merugikan pedagang gas.

Ia juga mempengaruhi pemikiran pemerintah dengan memberikan gambaran standar Poros agar para gasmen dimusnahkan.

Menurut Eddy, depresiasi rupee berdampak pada industri gas.

Ia mengatakan, meski ada undang-undang Bank Indonesia (BI) yang mewajibkan seluruh barang dalam negeri menggunakan rupiah, khususnya gas, namun pembelian oleh Kontraktor Kerjasama (K3S) tetap menggunakan dolar AS, sedangkan penjualan ke konsumen harusnya dilakukan dengan Rp.

Khusus gas, kami masih membeli gas dari K3S dalam USD. Tapi kami harus menjualnya ke konsumen dengan harga Rp,” kata Eddy.

Menurut Eddy, pembelian di K3S dilakukan dengan menggunakan dolar AS, namun pembayaran dari pembeli dilakukan dalam rupee sehingga menimbulkan kerugian akibat nilai tukar rupee.

Ia pun mencontohkan, pihaknya membeli di K3S saat harga rupee 16.000 per dolar dan saat mencoba menjualnya ke pembeli dengan harga 15.000, pihaknya merugi.

“Jadi kalau suku bunga rupee berubah, kita selalu rugi karena selisih kurs. Ya (mata uang rupee) itu penting sekali,” ujarnya.

Eddy menilai pemerintah mempunyai dua sisi dalam bisnis gas.

“Ada selisih kurs, kita beli dalam dolar AS, tapi harus jual dalam rupee. Menurut kami ini dua kali lipat,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *