Laporan jurnalis Tribunnews.com Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah melarang logo dan merek pada produk tembakau dan produk rokok elektronik.
Larangan tersebut tertuang dalam rancangan Keputusan Menteri Kesehatan (RPMK) yang sebagai pelaksana Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 bersumber dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Tujuan dari rancangan peraturan tersebut adalah untuk menyatukan kemasan produk tembakau dan produk rokok elektrik.
Ali Ridho, pakar hukum Universitas Trisakti, juga menyoroti potensi pelanggaran konstitusi dan hak kekayaan intelektual (HAKI) yang bisa timbul dari kebijakan tersebut.
Ridho menjelaskan, dasar pembuatan RPMK yang mengatur tentang kemasan sederhana adalah Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.
Padahal, PP 28/2024 yang mengatur baik produk tembakau maupun rokok elektrik tidak memuat peraturan turunan yang mengatur standarisasi kemasan, seperti isi RPMK.
Menurut Ridho, ketentuan yang terdapat dalam PP dan RPMK tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (CJ).
Selain itu, kata dia, hak kekayaan intelektual (HAKI) juga dilanggar.
“PP 28/2024 secara tidak langsung melanggar hak kekayaan intelektual dan tidak tampak signifikan dari segi konstitusi,” kata Ridho dalam acara debat di Jakarta, Senin (9/9/2024).
Menurut dia, ada kontradiksi antara putusan PP Kesehatan dan Mahkamah Konstitusi. Hal ini mungkin melanggar ketentuan konstitusi.
Pasalnya, dari sudut pandang konstitusi, kebijakan tersebut tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Dalam penyusunan rancangan peraturan tersebut, ia menilai perlu mempertimbangkan konsistensi kebijakan yang diterapkan dan putusan Mahkamah Konstitusi secara umum.
Ridho juga menegaskan, kemasan sederhana juga bisa melanggar hak konsumen.
Pasalnya, “UU Perlindungan Hak Konsumen” mewajibkan produsen untuk memberikan informasi yang akurat tentang produknya.
“Satu kemasan polos dapat menyembunyikan informasi penting suatu produk sehingga melanggar hak konsumen atas informasi akurat,” kata Ridho.
Ia menambahkan, para pelaku industri tembakau yang telah memenuhi kewajibannya harus mendapatkan haknya sesuai ketentuan konstitusi. Penjualan rokok dilarang dalam jarak 200 meter dari lembaga pendidikan
Ridho juga mengkritisi kebijakan pelarangan penjualan rokok dalam jarak 200 meter dari institusi pendidikan.
Menurut dia, aturan zonasi PP 28/2024 yang melarang penjualan dan iklan produk tembakau perlu diperjelas, mengingat definisi dan implementasinya masih belum jelas.
Ia mengatakan, larangan tersebut tidak bisa berlaku surut atau retroaktif terhadap pedagang dan pedagang yang berdiri sebelum adanya lembaga pendidikan atau taman bermain.
“Hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan,” kata Ridho.
Ridho mengingatkan, pembatasan hak hanya bisa dilakukan dengan undang-undang, bukan dengan keputusan tingkat PP atau keputusan menteri.
Selain itu, ratifikasi tidak hanya harus dilakukan oleh PP, tetapi juga oleh DPRK dan Presiden.
Pembatasan ini dipandang penting untuk memenuhi amanat rakyat. Peninjauan kembali
Karena potensi dampak hukumnya, Ridho merekomendasikan uji materi untuk merevisi kebijakan tersebut.
“Jika kebijakan ini terbukti melanggar undang-undang, maka langkah selanjutnya adalah uji materi,” kata Ridho.
“Jika upaya hukum gagal, harus dipertimbangkan alternatif lain,” ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, kebijakan kemasan polos tanpa merek dan larangan penjualan rokok memerlukan pendekatan yang hati-hati dan sejalan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang ada.
Ridho berharap pemerintah tidak sembarangan dan tergesa-gesa.
Mempertimbangkan kemungkinan pelanggaran hukum, ia menekankan pentingnya seluruh kebijakan yang diambil tidak hanya efektif, tetapi juga adil dan sejalan dengan prinsip konstitusi.