Kasus pembunuhan sekaligus mutilasi di Ciamis, Jawa Barat, menimbulkan mitos mengenai penderita gangguan jiwa.
Hasil pemeriksaan pertama yang dilakukan dokter psikiater terhadap penulis yakni Tarsuma diketahui menderita depresi.
Namun untuk mengetahui keseriusan penyakitnya, petugas medis akan melakukan pemeriksaan lebih mendalam selama 14 hari di Rumah Sakit Jiwa Cisarua Bandung.
Artinya, saat diperiksa, dokter menanyakan kondisi keluarga dan istrinya Yanti – dia sudah dioperasi.
Pakar psikologi forensik Universitas Gadjah Mada (UGM), Lucia Peppy, mengatakan seseorang dengan penyakit jiwa berat atau psikotik berbeda dengan orang kebanyakan.
Oleh karena itu, orang bisa melakukan berbagai hal, bahkan yang dianggap menyakitkan atau menyakitkan.
Jika iya, apakah ada gejala yang terlihat dan tindakan apa yang harus dilakukan? Bagaimana kronologinya?
Pembunuhan dan mutilasi tersebut terjadi di Kota Cisontrol, Kecamatan Rancah, Kabupaten Ciamis pada Jumat (03/05) pagi sekitar pukul 07.30 WIB.
Peristiwa tersebut menghebohkan warga dan terekam dalam video berdurasi 17 detik yang viral di media sosial.
Dalam video tersebut, seseorang yang diyakini warga sekitar menangkap pelaku yang diketahui bernama Tarsum sedang berjalan keliling desa sambil membawa pisau. Ia terlihat membawa apa yang diyakini sebagai bagian tubuh manusia di dalam tas.
Ketua RT setempat, Yoyo Tarya mengatakan, pembunuhan tersebut baru diketahuinya saat pulang kerja. Mendapat laporan tersebut, ia langsung mendatangi tempat itu dan melihat Tarsuma ketakutan memegang pisau.
Namun yang membuat Yoyo kaget adalah si pembunuh memberinya bagian tubuh korbannya yang saat itu dimasukkan ke dalam mangkuk.
“Mereka membelikan saya: ‘Beli daging Yanti, belilah’,” ujarnya, senada dengan ucapan penulis, Jumat (03/05), dilansir Kompas.com.
“Saya mau bantu, tapi saya takut, dia masih bawa pisau. Saya diam, saya langsung lapor polisi,” ujarnya.
Dari video yang beredar di media sosial, terlihat Tasum marah-marah saat hendak ditangkap polisi. Polisi mengikat mereka dan memasukkannya ke dalam mobil.
Kabid Humas Polda Jabar Jules Abast mengatakan dari lokasi kejadian, pelaku menggunakan sepotong kayu untuk membunuh korban.
Hasil pemeriksaan pendahuluan tim medis menunjukkan adanya luka tusuk di bagian belakang kepala korban. Pelaku menggunakan pisau untuk memotongnya.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Ciamis Joko Prihatin mengatakan, pelaku asal Tasum itu ditetapkan sebagai tersangka. Namun penyebabnya belum bisa dipastikan hingga dilakukan pemeriksaan kejiwaan.
“Saat diperiksa, saat disinggung soal pembunuhan dan mutilasi tersebut, terdakwa langsung terdiam dan tidak berkata apa pun atau menjawab,” jelas Joko Prihatin kepada wartawan, Senin (05/06). Apakah penulis mempunyai penyakit kejiwaan?
Kapolres Ciamis, AKBP Akmal menjelaskan, seminggu sebelum kejadian, dari keterangan beberapa saksi, istri korban menghubungi Puskesmas Rancah.
Penyebab tersangka mencoba bunuh diri adalah karena perbuatannya sendiri, termasuk memukul kepala hingga mendapat jahitan di kepala.
Selain itu, perilakunya yang disebut “reaktif” menyebabkan istri dan keluarganya bergaul dengan puskesmas.
Kepala UPTD Puskesmas Cisontrol Rancah Maman Hilman, Rabu (01/05) malam, saat dikonfirmasi, pihaknya mendapat laporan dari keluarga Tarsum untuk dilakukan pengecekan kondisinya, katanya, sifatnya berubah.
“Bermula dari laporan bahwa pihak keluarganya menelpon petugas kami yang sedang bekerja pada pukul 19.11 WIB. Jadi pihak keluarga melaporkan adanya perubahan perilaku dari yang bersangkutan, artinya dia khawatir,” kata Maman, Senin (06/05). ).
Petugas kesehatan dari Puskesmas langsung mendatangi kediaman Tarsum dan melakukan pemeriksaan dan evaluasi.
Hasil tes menunjukkan tensi Tarsum 120/80 dan berdasarkan evaluasi ia menjelaskan bahwa ia merasa cemas, namun ia tidak menyangka dirinya sedang dalam kesulitan atau sakit.
Sang ibu juga menjelaskan, menurut keluarga, perilaku tersebut berubah dalam tiga hari terakhir sebelum kejadian mengerikan tersebut. Tarsum mencoba melukai dirinya sendiri dan lari pulang.
Jadi petugas kesehatan memberinya semacam obat penenang dan menyarankan keluarga untuk menindaklanjutinya.
Benar, kami sudah melakukan pemeriksaan terhadap yang bersangkutan. Aparat juga berdasarkan konsultasi dokter memberikan semacam obat penenang selama dilakukan, kata Maman.
“Kami serahkan kepada keluarga untuk menjaga yang bersangkutan agar tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan diri sendiri atau orang lain. Apa penyebab masalah kejiwaan penulis?
Kasat Reskrim Polres Ciamis Joko Prihatin mengatakan, berdasarkan keterangan para saksi, termasuk anak korban, tersangka berhutang Rp 100 juta ke bank dan perorangan.
Pinjaman ini digunakan untuk melunasi hutang-hutang sebelumnya karena usaha pastoralnya gagal dan membuatnya terlilit hutang.
Adanya keraguan bahwa masalah utang adalah penyebab masalah psikologis.
Polisi mengaku belum bisa memastikan siapa anak terdakwa yang bertanggung jawab atas permainan game online di media sosial tersebut.
Namun sejauh ini, kata dia, belum ada yang melaporkan adanya masalah pada perjudian online.
“Tentunya diyakini karena tekanan ekonomi,” ujarnya kepada Tribunnews.com.
Terkait proses hukum bagi tersangka gangguan jiwa, Joko mengatakan, jika hasil penyidikan nantinya mengarah pada perawatan di rumah sakit jiwa, pihaknya akan menunggu hingga pelaku sehat sebelum menyelesaikan proses peradilan. Apakah ada hubungan antara masalah kesehatan mental dan kejahatan?
Sebuah cerita muncul di media sosial bahwa orang dengan penyakit mental itu berbahaya.
Kisah @khaeriin misalnya, men-tweet: “Aku takut banget sama banyak orang gila, parah banget…”.
Beberapa orang menyebut penjahat sebagai psikopat dan kanibal.
Namun, ada cerita lain yang mengingatkan masyarakat akan pentingnya kesehatan mental dan bagaimana hal tersebut dapat ditangani oleh orang-orang di sekitar mereka.
Menurut sebagian pengamat, terdapat kesalahpahaman bahwa penderita penyakit jiwa di masyarakat lebih berbahaya atau cenderung melakukan tindakan kekerasan.
Gagasan ini kuat dan tersebar luas karena para penjahat digambarkan di media sebagai orang yang ‘gila’.
Nathanael Sumampouw, pakar psikologi forensik Universitas Indonesia, mengatakan hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan langsung antara seseorang dengan penyakit jiwa – apalagi psikosis – termasuk kekerasan atau kejahatan.
Bahkan dalam beberapa kasus, kata dia, ada pelaku kejahatan yang memiliki riwayat penyakit jiwa.
Namun, pekerjaan ini dilakukan saat penulis masih dalam tahap proses.
Jadi orang yang mereka yakini benar adalah pembohong atau mukmin, meski menghadapi kejahatan, mereka tidak gentar sekalipun, katanya kepada BBC News Indonesia.
“Misalnya, dia mengira dirinya adalah tentara yang menjalankan misi khusus dan korbannya adalah mata-mata yang mengancam negara, padahal tidak ada perang.”
“Tetapi dia mendengar sesuatu atau perintah dan dia menurutinya.”
“Jadi jangan mengkriminalisasi orang dengan penyakit mental.”
Lucia Peppy, psikolog forensik Universitas Gadjah Mada (UGM), menjelaskan, buruknya penyakit jiwa ada tingkatannya: kesusahan, kebingungan, dan kejahatan.
Yang membedakan mereka semua adalah kemampuan mengendalikan kenyataan dan apakah itu halusinasi atau bukan.
Jika ada penyakit jiwa berat atau psikotik, maka realitasnya berbeda dengan orang kebanyakan.
Dan jika seseorang memiliki kepribadian yang berbeda, maka dimungkinkan untuk melakukan hal yang berbeda, kata Lucia.
“Menanamkan apa yang kami tangkap itu menyakitkan dan menyakitkan.”
“Dari sudut pandang mereka, operasi itu mungkin sebuah prosedur, padahal mereka melihat tubuh perempuan itu tidak dipotong. Apakah ada tanda-tanda yang terlihat?
Lucia mengatakan ada beberapa tanda “peringatan” yang harus diwaspadai ketika gejalanya kembali.
“Kecemasan…yaitu, jika seseorang yang mengidap [psikotik]seperti kecemasan, maka kita harus waspada bahwa mereka memiliki gejala.”
“Apakah akan sakit? Tidak juga, tapi tidak nyaman.”
Dalam situasi ini, menurutnya, saran terbaik adalah memanggil tenaga kesehatan profesional atau memberinya obat untuk menenangkan pikiran.
Sayangnya, masyarakat masih memandang permasalahan penyakit jiwa yang serius sebagai penyakit fisik.
“Kalau masuk angin, minum obat. Tapi kalau tidak masuk angin, jangan.”
“Saat ini gangguan psikotik tidak seperti itu. Pengobatannya harus teratur, kalau obatnya tidak diminum maka gejalanya akan semakin parah.”
Dalam kasus Ciamis, seperti halnya Lucia, obat penenang yang diberikan Puskesmas Rancah kepada penulis Tarsuma adalah obat pereda gejala.
Namun ini bukanlah obat untuk gangguan psikotik atau gejala parah.
Oleh karena itu, analisis terhadap pelaku harus dilakukan secara hati-hati, apakah ia melakukan tindak pidana tersebut ketika sedang dalam keadaan psikotik.
Faktanya, ada orang yang menderita gangguan psikotik namun kenyataannya tidak berpengaruh terhadap ‘gejala’ mereka.
“Jadi kalau penderita skizofrenia tidak menunjukkan gejala, mereka bisa mengendalikannya, bisa naik sepeda, bisa bekerja.”
Namun yang terpenting, ia merekomendasikan psikoterapi bagi seseorang dengan penyakit mental yang telah merugikan dirinya sendiri.
Menurut dia, puskesmas – kecuali yang berada di kota besar – tidak bisa memberikan layanan tersebut. Bagaimana proses hukum penulis Tarsum?
Pemeriksaan kejiwaan terhadap Tarsum dilakukan Polres Ciamis dan melibatkan dokter spesialis jiwa RSUD Ciamis, dr Andi Fatimah.
Pelatihan dilaksanakan di ruangan khusus narapidana.
Hanya saja, kata Kasat Reskrim Polres Ciamis AKP Joko Prihatin, saat pemeriksaan kejiwaan, Tarsum menanyakan kepada dokter Andi Fatimah tentang kondisi keluarganya, termasuk istrinya.
“Iya, kata dokter, tersangka bertanya kepada keluarganya tentang kesehatan istrinya.
Selama persidangan, sikapnya tetap stabil, namun terkadang dia menjadi sangat pendiam sehingga tidak dapat memahami apa yang diajak bicara.
Joko Prihatin mengatakan, dokter akan mengirim RSJ Cisarua ke rumah sakit jiwa di Tarsum untuk pemeriksaan di Bandung.
Akan ada pemeriksaan selama 14 hari sambil dijaga polisi.
“Tersangka akan dikirim ke rumah sakit jiwa untuk evaluasi lebih lanjut.
“Menurut psikiater, pasien perlu diperiksa, karena dia terkena serangan jantung.”
Terkait proses hukum, polisi akan memutuskan kelanjutan tindak pidana Tarsum setelah hasil pemeriksaan selama 14 hari.
Satuan Reserse Kriminal Polres Ciamis akan bekerja sama dengan pihak kejaksaan dan kemudian pengadilan akan mengambil keputusan.
“Dia selalu bungkam. Kecuali kalau ditanya, dia diam saja. Jarang bicara. Di ruangan khusus, hanya kita berdua.” , tutupnya.
Kriminolog Reza Indragiri mengatakan, dalam banyak kasus pidana yang memiliki riwayat penyakit jiwa pada terdakwa, polisi menutup kasus tersebut.
Oleh karena itu ada ayat 1 Pasal 44 KUHP yang artinya: Barangsiapa melakukan suatu perbuatan tidak bertanggung jawab karena cacat perkembangannya atau terkena penyakit, maka ia tidak dipidana.
Menurut Reza, penghentian kasus secara sepihak ini tidak bisa diterima dan tidak ada rasa keadilan bagi korban.
Karena terserah hakim untuk memutuskan apakah penjahat dengan penyakit mental harus dihukum.
Hal ini sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 yang berbunyi: apabila pemberi kerja dianggap tidak dapat mempertanggungjawabkan pekerjaan itu karena terganggunya perkembangan jiwa karena cacat atau sakit, maka hakim dapat memerintahkan orang tersebut masuk ke dalam. rumah sakit jiwa, sebagai masa percobaan hingga satu tahun.
Artinya, ketika ada kasus pidana dan pelakunya sakit jiwa, harus ke pengadilan. BBC News Indonesia.
“Jika hakim tidak memahami persyaratannya, maka hakim tidak akan memesan obat tersebut.
Reza mengatakan, pada kasus sebelumnya yang melibatkan pelaku pembunuhan anak tersebut, kasus tersebut dihentikan polisi karena pelakunya menunjukkan penyakit jiwa.
Menurutnya, perilaku polisi ceroboh dan ceroboh.
Karena melepaskan terdakwa saja “polisi akan membawa bahaya baru bagi masyarakat”.
Oleh karena itu, penulis berharap tidak ada kasus pidana yang memiliki riwayat penyakit jiwa. Hakim akan memutuskan.
Reporter Ciamis Dadang Hermansyah memberikan laporan tersebut.