Pelantikan Presiden Diminta Dipercepat, PDIP: Tak Ada Urgensinya! Sabar, IKN Belum Bisa Ditempati

Laporan reporter Tribunnews.com Fersianus Waku

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua DPP Reformasi Sistem Hukum Nasional PDIP Ronny Talapessy menilai usulan percepatan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih tidak ada gunanya.

Hal ini menanggapi uji materi Undang-Undang (UU) Pemilu oleh Mahkamah Konstitusi (KC) sehingga pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilakukan paling lambat tiga bulan setelah pemilu Indonesia. Komisi (KPU) yang menentukan.

“Tidak perlu terburu-buru,” kata Ronny kepada Tribunnews.com, Kamis (18/07/2024).

Ronny mengatakan, masa jabatan presiden adalah lima tahun per periode dan berakhir pada hari dan bulan yang sama setelah lima tahun pelantikan.

“Saya belum tahu apa motif pemohon. Lebih baik menunggu Oktober. Tidak lama,” ujarnya.

Menurut Ronny, jika alasannya karena waktu pengukuhan hingga pelantikan terlalu lama, sebaiknya peraturan Komisi Pemilihan Umum (GEC) diubah.

Jadwal tahapan pemilu diubah sehingga jarak waktunya lebih dekat. Dan cukup melalui PKPU, tidak perlu uji materiil di Mahkamah Konstitusi, kata Ronny.

Apalagi, kata Ronny, Ibu Kota Negara Republik Indonesia (IKN) Kaltim masih layak huni.

“Sabar saja, IKN belum bisa diambil alih. Mungkin bulan Oktober presiden dan wakil presiden bisa langsung hadir di sana,” ujarnya. Permintaan penunjukan mendesak karena alasan lowongan hukum

Sedangkan gugatan ini diajukan oleh lima pemohon yakni Audrey G Tangkudung, Rudi Andries, Desy Natalia Kristanty, Marlon SC Kansil, dan Meity Anita Lingkani.

Ayat 1 Pasal 416 berbunyi: “Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh lebih dari 50 persen (lima puluh persen) jumlah suara dan paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) suara pada pemilihan presiden dan wakil presiden. pemilihan presiden.” suara dalam pemilihan presiden dan wakil presiden Presiden. setiap provinsi tersebar pada 1/2 (setengah) provinsi di Indonesia. 

Mereka meminta Mahkamah Konstitusi memasukkan ketentuan bahwa MPR harus mengangkat langsung presiden dan wakil presiden yang dipilih paling lambat tiga bulan setelah KPU menetapkan pasal tersebut.

“Majelis Yang Mulia dapat mempertimbangkan hal ini untuk memasukkan atau melengkapi Pasal 416(1) paling lambat tiga bulan setelah pengangkatan presiden yang dipilih oleh MPR,” kata kuasa hukum pemohon, Daniel Edward Tangkau, saat sidang pendahuluan. Kasus no. 65/PUU -XXII/2024, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (17/07/2024).

Sementara itu, Pemohon Desy yang turut hadir di ruang sidang mengapresiasi pelantikan presiden dan wakil presiden memakan waktu lama, bahkan delapan bulan setelah diumumkan terpilih oleh KPU. Menurut dia, hal ini menimbulkan kekosongan hukum.

“Kami sekarang meminta Mahkamah Konstitusi mengeluarkan norma baru tentang percepatan pelantikan,” kata Desy.

Berkas permohonan perkara ini terdiri dari dua halaman.

Para pemohon menjelaskan beberapa alasan yang diajukan, antara lain situasi perekonomian nasional dan global, situasi geopolitik global, dan penilaian terhadap kepastian hukum.

Dalam permohonannya, pemohon meminta penambahan kalimat ketentuan Pasal 416 ayat 1 UU Pemilu, “apabila calon presiden dan wakil presiden pada putaran pertama memperoleh suara lebih dari 50 persen.” Pemilu dan setelah ditetapkan oleh KPU, MPR harus segera mengangkat seorang presiden dan seorang wakil presiden untuk dipilih paling lambat 3 bulan setelah penetapan KPU.

Maklum, permohonan uji materi undang-undang pemilu masyarakat tersebut terjadi bersamaan dengan penantian pelantikan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI 2024- 2029. periode setelah menang 2024 dalam pemilihan presiden dan ditetapkan oleh KPU pada tahun 2024. 24 April

Pelantikan kedua presiden dan wakil presiden tersebut baru akan dilakukan setelah masa jabatan presiden dan wakil presiden saat ini Joko Widodo (Jokowi– Maruf Amin) berakhir pada tahun 2024. 20 Oktober  

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Arief Hidayat menjelaskan bahwa permohonan yang diajukan para pemohon tidak sesuai dengan ketentuan sehingga mudah untuk disebut sebagai permohonan yang kabur. Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo, dalam rapat yang digelar Rabu (29/11/2023) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat. (Tribunnews.com/Ibriza Fasti Ifhami)

Arief meminta Pemohon mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi (PMK) tahun 2021. peraturan no. 2 “Tentang Tata Cara Perkara Peninjauan Kembali”, yang menjelaskan apa yang harus dicantumkan dalam permohonan. Misalnya identitas Pemohon, kewenangan Mahkamah Konstitusi, status hukum Pemohon, alasan permohonan, serta permohonan yang memuat permasalahan yang diminta untuk diselesaikan dalam permohonan peninjauan kembali.

Arief menjelaskan, pemohon harus menjelaskan pertentangan Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu dengan UUD 1945. Konstitusi Negara Republik Indonesia (Konstitusi NRI) sebagai konstitusi. 

Selain itu, para pemohon juga harus menjelaskan kerugian konstitusional yang ditimbulkan oleh penerapan ketentuan tersebut, dengan mempertimbangkan alasan-alasan dalam pasal tersebut yang menyebabkan percepatan pelantikan Presiden terpilih.

Tak hanya itu, para Pemohon juga harus memperhatikan ketentuan lain, seperti Pasal 7 UUD 1945 yang menyebutkan presiden dan wakil presiden menjabat selama lima tahun, dan selanjutnya dapat dipilih kembali sesuai UUD 1945. , hanya untuk satu periode. 

Menurut Arief, ketentuan tersebut menjadi dasar pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih yang dilaksanakan setiap tanggal 20 Oktober. Untuk menyelesaikan masa kerja lima tahun.

“Saya akan tunjukkan secara mendasar kenapa dia dilantik pada 20 Oktober, karena 20 Oktober, kalau bukan lima tahun, berarti permohonan ini melanggar konstitusi. Kalau Mahkamah memutuskan seperti yang saudara inginkan, maka Mahkamah akan melanggar konstitusi,” kata Arief. .

Selain itu, Hakim Konstitusi Arsul Sani menyatakan pemohon dapat meninjau permohonannya dalam waktu 14 hari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *