Pelaku Industri Penerbangan Non-Airline Berharap Dukungan Pemerintah agar Bisa Tumbuh

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pelaku non-aviasi yakin masih mampu tumbuh 300%.

Dengan laju pertumbuhan tersebut, perekonomian nasional akan semakin berkembang sehingga semakin mendekatkan impian Indonesia Emas pada tahun 20145.

Harapan mencapai 300 persen juga menimbulkan keyakinan karena permintaannya tinggi sekali, saya tidak melebih-lebihkan, kata CEO Indonesia Aviation Zifa Narendra Arifin pada Asia Pacific Forum: Business Aviation 2024 di Jakarta, Rabu. (26/06/2024).

Lebih lanjut ia menjelaskan, industri di Indonesia terutama bertumpu pada tiga bidang. Mulai dari produksi sumber daya alam (SDA), manufaktur, hingga pariwisata.

Menurut Ziva, ketiganya sangat membutuhkan transportasi udara. “Dan tidak bisa hanya dilayani oleh maskapai penerbangan berjadwal,” imbuhnya.

Penyebabnya adalah letak geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari kurang lebih 17.000 pulau. “Di sini basisnya adalah penerbangan swasta, penerbangan charter, atau penerbangan korporasi,” jelas Ziva.

Namun ia mengingatkan, jika diyakini peningkatan pengembangan lahan hingga 300 persen diyakini bisa tercapai, maka hal itu hanya bisa dicapai dengan dukungan pemerintah.

“Harus diakui masih banyak hambatan regulasi, mulai dari masalah finansial hingga terkait fasilitas bandara. Kita butuh fleksibilitas,” lanjutnya.

Ia lalu mencontohkan soal izin bandara. Di Bandara Seletar Singapura yang terkenal dengan aktivitas tinggi, take-off dapat diselesaikan dalam waktu 3 jam.

Sedangkan dalam hal ini, diperlukan waktu hingga 48 jam untuk mendapatkan izin dari Kementerian Perhubungan dan TNI AU. “Itu terjadi dari hari ke hari dan di setiap bandara,” jelas Suwito, Kepala Departemen Teknik Pelayanan Penerbangan dan Administrasi Pesawat Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub), di tempat yang sama. juga mengakui bahwa industri penerbangan di Indonesia memiliki potensi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat besar.

Namun ia juga menyadari bahwa kesulitan dan kendala yang dihadapinya tidak sedikit. Berbeda dengan pelaku industri, justru lebih fokus pada faktor eksternal yang terlibat. Misalnya saja dengan pelemahan rupiah saat ini.

“Dampak kenaikan harga bahan bakar jet tentu menjadi tantangan bagi industri penerbangan karena pembiayaan pada segmen ini menyumbang sekitar 40 persen dari total pembiayaan,” ujarnya.

Asia Aviation Forum yang diadakan untuk kedua kalinya di Malaysia pada tahun lalu merupakan forum yang mempertemukan entitas dari luar industri penerbangan.

Tidak hanya Asia, banyak industri dirgantara di Eropa yang turut berpartisipasi aktif dalam hal ini. Misalnya Dassault (Prancis) atau Bombardier (Kanada).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *