Reporter Tribune News, Ibriza Fasti Ifahami melaporkan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Persatuan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mengamati dominasi perempuan sebagai korban dan pelaku dalam kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Hal ini didasarkan pada penelitian PBHI dengan menggunakan sumber teori hukum, antara lain analisis dampak peraturan, melakukan kajian putusan pengadilan, dan survei pengalaman pengacara.
Selain itu penelitian dilakukan melalui pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual seperti hak asasi manusia (HAM), hak korban dan proses penanganan perkara di peradilan pidana.
Sekjen PBHI Gina Sabrina mengungkapkan, jika dilihat dari gender, 95 persen korban TPPO adalah perempuan.
Data tersebut berdasarkan catatan Polri per 5 Juli 2023, tercatat 982 pengaduan dan penetapan tersangka sebanyak 1.361 orang.
“Di sini kita melihat perempuan secara hierarki lebih lemah dibandingkan laki-laki,” kata Gina dalam debat publik bertajuk ‘Meminta Ganti Rugi Korban TPPO’ Rabu (3/7/2024) lalu di Jakarta Selatan.
Lalu, dari segi latar belakang pendidikan, korban TPPO didominasi oleh mereka yang hanya mengenyam bangku sekolah hingga SD dan SMP.
Lebih rincinya, 33 persen korban hanya bersekolah di SD, 33 persen hanya bersekolah di SMP, hanya 11 persen yang tamat SMA, dan 22 persen lainnya tidak menyelesaikan pendidikannya.
“Kami simpulkan (TPPO) itu dari kelompok miskin terdampak yang tidak mendapat perlindungan dan hidup di bawah standar layak,” kata Gina.
Itulah sebabnya kondisi hak asasi mereka yang mendasar kurang, karena pendidikan yang memberikan akses terhadap pekerjaan yang layak, kehidupan yang layak, sejak awal belum terpenuhi, tambahnya.
Menurut dia, kerentanan dalam konteks pemenuhan hak-hak dasar menjadi salah satu faktor mata rantai eksploitasi.
“Jadi kerentanan ini dieksploitasi. ‘Mau kerja tanpa ijazah?'” kata Gina.
Sedangkan pelaku TPPO, menurut Gina, 52 persen adalah perempuan dan sisanya laki-laki.
Modusnya, sesama perempuan melakukan pendekatan ‘menjual teman’. Lebih diterima korban. Pendekatan perempuan lebih emosional dibandingkan laki-laki,” kata Sekjen PBHI itu.
Bahkan, dia mengungkapkan, di tempat kerja, sebagian besar pelanggar TPPO tidak bekerja.
“Karena rantainya eksploitatif dan terorganisir. Makanya merekrut orang-orang yang mempunyai latar belakang yang sama dengan korban. Agar bisa dekat secara emosional dengan korban,” ujarnya.
Lebih lanjut Gina mengatakan, proses penegakan hukum TPPO sebenarnya didominasi atau disasar oleh aktor lapangan, namun aktor kunci alias aktor intelektual tidak banyak tersentuh oleh aparat penegak hukum.
“Dari berbagai putusan pengadilan, kita melihat pelaku yang ditangkap di lapangan juga miskin, jadi bukan investor atau aktor intelektual. Yang melakukan (TPPO) karena tekanan ekonomi. Hidupnya tidak berkecukupan,” kata Gina.