Laporan dari reporter Tribunnews.com Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Diare masih menjadi penyakit yang umum terjadi di masyarakat. Berdasarkan laporan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023, prevalensi diare pada seluruh kelompok umur di Indonesia mencapai 4,3 persen, dan kelompok usia 75 tahun mempunyai angka diare tertinggi yaitu sebesar 5,1%.
Data Global Burden of Disease tahun 2016, diare termasuk dalam 10 penyakit dengan beban kesehatan terbesar di dunia.
Meskipun berbagai upaya pencegahan telah dilakukan di Indonesia, namun keberhasilan dalam menurunkan angka kejadian dan kematian akibat diare masih menunjukkan hasil yang beragam.
Hal ini disebabkan kinerja yang kurang optimal di bidang pertahanan dan juga di berbagai sektor. Dalam upaya pengobatan diare yang lebih efektif, Persatuan Gastroenterologi Indonesia (PGI) telah memperkenalkan teknologi untuk mendiagnosis diare, salah satunya adalah metode reaksi berantai multipleks polimerase (PCR) tinja yang memungkinkan deteksi simultan berbagai patogen seperti bakteri, virus. Dan. parasit dalam sampel tinja.
Sekretaris Jenderal PB-PGI Dr. Dr. Hasan Maulahela, SpPD, K-GEH mengatakan, analisis feses PCR multipleks sangat dianjurkan bagi penderita diare kronis, persisten, atau akut untuk mengidentifikasi infeksi secara akurat.
Virus yang berbeda dapat menimbulkan gejala yang serupa, sehingga menyulitkan dokter untuk mengidentifikasi virus penyebab infeksi pada pasien, terutama pada pasien dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah seperti pengidap HIV/AIDS, kanker, penyakit autoimun, dan kondisi kesehatan kronis lainnya.
“Tes sindrom menjawab permasalahan ini dengan menggunakan PCR multipleks untuk menguji banyak penyakit secara bersamaan, CT-Value berperan penting dalam diagnosis awal, terutama jika seseorang mengalami koinfeksi.” Hasil yang cepat dan akurat dapat memberikan alternatif terhadap pengujian tradisional. metode kultur bakteri dan mikroskop,” kata dr Hasan dalam sambutannya, Senin (16/12/2024).
Terutama, Dr. Hasan melanjutkan, jika pasien mengidap penyakit seperti HIV atau autoimun dimana tubuh tidak dapat melawan penyakit tersebut, maka penyakit kronis pun bisa terjadi.
“Hasil evaluasi program mempunyai manfaat tersendiri karena mampu menentukan penyebab tertular hingga 23 penyakit, sehingga sangat membantu dokter dalam menemukan pengobatan yang tepat sesuai penyebab diare,” ungkapnya. Dr Hasan.
Dr. Hasan juga menjelaskan, rekomendasi terakhir memberikan berbagai rekomendasi pengobatan, termasuk pemilihan antibiotik dan probiotik dibandingkan dengan etiologi spesifiknya sehingga hasil tes PCR multipleks dapat mengurangi penggunaan antibiotik yang berlebihan atau tidak tepat yang menjadi salah satu alasan utamanya. antibiotik saat ini.
Guru Besar Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Prof. Ari Fahrial Syam, MD, PhD, MMB, FACP, FACG mengatakan teknologi diagnostik ini mendukung pengambilan keputusan klinis yang lebih cepat, meningkatkan efisiensi dan kualitas perawatan pasien.
“Saat ini alat Syndromic Testing sudah tersedia di e-Catalogue, sehingga terbuka bagi rumah sakit yang memang membutuhkan. Syndromic Testing juga tersedia di beberapa rumah sakit pemerintah dan swasta,” ujar Profesor Ari.
Selain itu, pentingnya kewaspadaan hidup bersih juga ditekankan sebagai salah satu cara mencegah penyakit diare yang masih menjadi masalah di dunia saat ini.
“Apalagi pada masa peralihan musim panas ke musim hujan, kebersihan adalah hal yang paling penting. Secara umum, pencegahan diare dapat dilakukan dengan hal sederhana, dimulai dengan mencuci tangan setiap kali makan dan menjaga sumber makanan dan air bersih. mencegah diare,” ujar Prof. Dr. Marcellus Simadibrata, SpPD, K-GEH, PHD, FASGE selaku penasihat PGI.