TRIBUNNEWS.COM – Memberikan yang terbaik untuk calon buah hati merupakan prioritas setiap ibu hamil.
Namun, terkadang paparan bahan kimia berbahaya seperti Bisphenol-A (BPA) tidak bisa dihindari. Senyawa kimia ini sering digunakan sebagai pengental plastik air minum dalam botol galon yang sering dikonsumsi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini tentu menjadi kekhawatiran mengingat paparan BPA dapat terlarut dalam air atau makanan yang dikemas dalam plastik polikarbonat. Ketika senyawa kimia ini masuk ke dalam tubuh, BPA mengganggu sistem endokrin, terutama hormon estrogen, sehingga berisiko bagi perkembangan janin dan tumbuh kembang anak.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa paparan BPA berbahaya bagi kesehatan, terutama bagi ibu hamil dan anak dalam masa pertumbuhan.
Menurut pakar farmasi Fakultas Farmasi Universitas Airlanga, Prof. Junaidi Khotib, S.Si., Apt., M.Kes., Ph.D., Ibu hamil dan anak-anak yang usianya semakin bertambah merupakan kelompok yang paling rentan terhadap paparan BPA.
Sejalan dengan hal tersebut, penelitian yang diterbitkan pada tahun 2018 berjudul “Prenatal Mother and Childhood Bisphenol A Exposure and Brain Structure and Behavior of Young Children” menunjukkan bahwa paparan BPA pada ibu hamil, khususnya pada trimester kedua, mempengaruhi perkembangan. Otak seorang anak.
Penelitian yang melibatkan 98 pasangan ibu-anak ini menganalisis total konsentrasi BPA dalam sampel urin ibu hamil trimester kedua dan anak usia 3-4 tahun. Metodologi penelitian yang dilakukan pada anak juga didukung dengan difusi optic magnetic resonance imaging (MRI) pada usia 2-5 tahun (3,7 ± 0,8 tahun).
Hasilnya, konsentrasi BPA yang tinggi ditemukan berhubungan dengan perubahan struktur mikroskopis serat materi putih di otak anak kecil. Selain itu, perubahan struktur serat materi putih ini merupakan hubungan antara paparan BPA prenatal dan masalah perilaku pada anak-anak selama masa kanak-kanak.
Laporan yang diterbitkan oleh US National Toxicology Program pada tahun 2008 juga menyatakan bahwa makanan atau minuman yang terkontaminasi BPA dapat menimbulkan efek buruk pada otak dan perilaku janin, bayi, dan anak-anak. Paparan BPA bisa masuk ke plasenta, ASI, atau botol.
Gangguan perilaku juga bisa muncul pada masa kanak-kanak ketika anak lebih sering terpapar BPA. Dalam hal ini, mereka berisiko mengalami perubahan perilaku dan emosional seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), hiperaktif, gangguan kecemasan dan gangguan perilaku lainnya.
Pentingnya peraturan bebas BPA
Untuk mengurangi risiko paparan BPA, baik konsumen maupun produsen harus melakukan beberapa tindakan pencegahan.
Konsumen, khususnya ibu hamil dan anak-anak, disarankan untuk mengurangi penggunaan produk yang mengandung BPA seperti botol plastik dan wadah makanan dan menggantinya dengan alternatif bebas BPA untuk membantu mengurangi risiko kesehatan yang ditimbulkannya.
Di sisi lain, produsen juga mempunyai peran penting dalam memerangi bahaya BPA. Hal ini dapat dilakukan dengan mulai beralih ke bahan kemasan yang lebih aman.
Langkah ini tidak hanya melindungi konsumen dari paparan BPA, tetapi juga meningkatkan kepercayaan terhadap produk yang ditawarkan.
Dalam mengatasi bahaya kesehatan yang mengancam masyarakat, pemerintah telah mengambil tindakan aktif melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dengan menerbitkan Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024, salah satu pasal yang fokus pada pelabelan BPA.
Berdasarkan ketentuan tersebut, kemasan plastik polikarbonat untuk air minum dalam kemasan harus mencantumkan peringatan pada label kemasannya bahwa “Dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA ke dalam air minum dalam kemasan.”
Dengan disetujuinya aturan tersebut, diharapkan masyarakat khususnya ibu hamil dan anak akan terlindungi dan konsumen semakin sadar akan risiko BPA pada tubuh. Dengan begitu, masyarakat lebih bijak dalam memilih dan mengonsumsi produk yang ada di pasaran. (***YOS***)