Pandangan Hukum Negara, MUI, Muhammadiyah dan NU Tentang Pernikahan Beda Agama

Laporan reporter Tribunnews.com Rina Ayu

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Penyanyi Rizky Febian dan Mahalini melangsungkan pernikahan beda agama pada Minggu (5/5/2024).

Rencana pernikahan keagamaan antara kedua penyanyi muda ini beredar luas di media sosial karena merupakan upacara adat dan akad nikah Bali.

Lalu bagaimana undang-undang khusus mengenai pernikahan agama menurut pemerintah dan agama berdasarkan pendapat Organisasi Disabilitas Indonesia (MUI).

Di Indonesia, pernikahan beda agama mempunyai pro dan kontra.

KH Cholil Nafis, Ketua Umum Persatuan Disabilitas Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, dalam keterangan resminya, Minggu (5/5/2024).

Misalnya, keputusan Pengadilan Negeri Surabaya yang membuat heboh. Keputusan membolehkan pencatatan perkawinan beda agama pada tahun 2022 ditetapkan dengan undang-undang, demi hak asasi manusia dan mencegah hidup bersama.

Demikian pula, meski melanggar hukum yang berlaku, namun tidak menghormati hak asasi manusia dan mendukung hidup berdampingan secara hukum.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada bab tentang hak berkeluarga dan mempunyai anak, pasal 10 menyatakan: “Keluarga yang sah hanya dapat terbentuk dengan adanya hak untuk memilih suami dan istri bagi seorang wanita hamil. , menurut hukum.”

Saat ini, ketentuan hukum perkawinan dikatakan sah apabila sejalan dengan hukum agama atau kepercayaan apa pun.

Artinya pernikahan beda agama tidak sesuai dengan ajaran Islam yang melarang pernikahan beda agama, ujarnya.

Di Indonesia menurut undang-undang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Nomor 1 Presiden Republik Indonesia tentang Perkawinan Menurut Hukum Islam Tahun 1991.

Kedua undang-undang ini mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan, termasuk perkawinan beda agama.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (1) berbunyi: “Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum agama atau kepercayaan apa pun.”

Dalam struktur ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar aturan agama atau kepercayaan apapun.

Beberapa pasal Instruksi Presiden RI Tahun 1991 tentang Integrasi Hukum Islam dijelaskan serupa: Pasal 4: “Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum Islam. Pasal. Pada Ayat 1 Ayat 2 Tahun 1974 Nomor 1 tentang Perkawinan”. 40. Pasal: Dilarang menikahkan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan karena alasan lain; seorang perempuan non-Muslim.

Pasal 44:

“Seorang wanita Muslim dilarang menikah dengan pria non-Muslim.” Pasal 61: “Tidak adanya perkawinan tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali perkawinan itu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien”

Tentu saja hukum dan peraturan perkawinan didasarkan pada hukum Islam.

Sedangkan dalam surat al-Baqarah ayat 221 Allah SWT. melarang perkawinan beda agama dan tidak memberikan kemungkinan legalisasi.

Dalam ayat Al-Qur’an yang lain, Allah SWT menjelaskan bahwa haram bagi seorang muslim menikah dengan orang kafir.

“Keputusan Majelis Disabilitas Indonesia Nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 mengeluarkan fatwa terkait undang-undang pelarangan pernikahan beda agama: – Pernikahan beda agama adalah haram dan tidak pantas.”

Nahdlatul Ulama (NU) juga telah mengeluarkan fatwa pernikahan beda agama.

Fatwa ini disetujui pada pertemuan Kongres ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989. Para pemimpin NU menekankan dalam fatwanya bahwa pernikahan antara dua orang yang berbeda agama tidak pantas di Indonesia.

Sementara itu, Organisasi Muhammadiyah dalam keputusannya pada Kongres Tarjih ke-22 di Malang (Jawa Timur) tahun 1989 mengutarakan/mempertegas pendapat tidak bolehnya menikah dengan wanita non-Muslim atau ahli kitab, karena beberapa alasan:

– Ahli Kitab yang ada saat ini tidak sama dengan yang ada pada zaman Nabi SAW.
- Saat ini semua Ahli Kitab adalah musyrik atau mereka menggabungkan Allah dan Allah bahwa Uzair adalah anak Allah (menurut orang Yahudi) dan Isa adalah anak Allah (menurut orang Nasrani).


– Perkawinan secara agama tidak boleh menjadikan keluarga sakinah sebagai tujuan utama perkawinan.
- Insya Allah ummat Islam tidak akan kekurangan muslimah, niscaya jumlah muslimah lebih banyak dibandingkan laki-laki. Perpisahan Rizky Febian dan Mahalini di Bali, Minggu (5/5/2024).

Terakhir, perkawinan agama antara perempuan muslim dengan laki-laki non muslim tidak diperbolehkan menurut ijma para ulama salaf dan khalaf.

Dalam perkawinan beda agama antara laki-laki muslim dengan perempuan alkitabiah (Yahudi dan Nasrani), terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, ada yang mengatakan boleh dan ada pula yang mengatakan haram.

Namun pendapat para Ulama Indonesia yang tergabung dalam organisasi MUI, NU dan Muhammadiyah sepakat untuk melarang pernikahan beda agama antara pria muslim dan wanita muslim.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *