TRIBUNNEWS.COM — Terbitnya PP Undang-Undang Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) yang disusun menggunakan metode omnibus dan rancangan undang-undang Menteri Kesehatan (RPMK) menuai kontroversi.
Berbagai kalangan baik akademisi/pengamat, politisi DPR RI, hingga komunitas tembakau memprotes undang-undang ini karena minimnya partisipasi masyarakat.
Pakar hukum administrasi publik Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Dr Fitriani A Sjarif menilai minimnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan dengan metode omnibus memang akan menimbulkan kontroversi.
“Kebijakan ini tidak sejalan dengan undang-undang yang ada untuk menjamin partisipasi masyarakat (partisipasi yang berarti) dalam penyusunan peraturan,” kata Fitriani dalam wawancara yang digelar di kampus UI Salemba, Jakarta Pusat, baru-baru ini.
Ia juga mengatakan, dalam membuat undang-undang, penting untuk memastikan bahwa masyarakat diberi kesempatan untuk didengar dan menyampaikan pendapatnya. Pembuatan aturan omnibus menggabungkan banyak topik menjadi satu aturan dan ribuan artikel.
“Proses yang cepat dan transparan akan mempersulit integrasi pemangku kepentingan, sehingga kualitas hasil pengendalian akan buruk dan sulit diterapkan di lapangan,” ujarnya seperti itu.
Fitriani mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam menggunakan metode omnibus dalam menyusun kebijakan dan belajar dari pengalaman negara lain. Dengan begitu, kita berharap kebijakan yang baik dan seimbang dapat diambil tanpa membeda-bedakan kelompok tertentu.
Fitriani melanjutkan, dalam UU 12/2011, Indonesia menganut penyusunan peraturan yang menggunakan satu sistem hukum, dimana undang-undang tersebut akan fokus pada pengendalian permasalahan yang sama. Indonesia sudah mulai menerapkan pendekatan omnibus dalam beberapa tahun terakhir, dimulai dengan penyusunan Undang-Undang Cipta Kerja.
“Indonesia bisa mencontoh Amerika Serikat yang mulai menerapkan metode omnibus, yang membolehkan metode omnibus hanya jika undang-undang yang diusulkan memiliki subjek yang sama, atau bisa dikatakan omnibus law berbentuk pendekatan pada satu isu,” katanya. dikatakan.
Salah satu peraturan baru yang sedang disusun Kementerian Kesehatan adalah kemasan rokok tanpa nama RPMK. Kebijakan ini dinilai mempunyai potensi paling besar untuk mempengaruhi seluruh pemangku kepentingan industri tembakau. Kekhawatiran utama adalah dampak persaingan tidak sehat dan meningkatnya jumlah rokok ilegal.
Kemasan yang seragam berpotensi menyulitkan konsumen dalam membedakan produk sah dan tidak sah. Bahkan penerapan pengemasan rokok tanpa nama juga melanggar peraturan seperti Undang-Undang Hak Cipta, Merek Dagang, dan Perlindungan Konsumen.
Dokter Spesialis Kesehatan Masyarakat dan Spesialis K3, Dr. Profesor Fitriya menekankan pentingnya pendidikan dan pemberian layanan untuk mengurangi prevalensi penggunaan rokok di masyarakat.
“Produk tembakau dan rokok elektrik tidak boleh dijual dalam kemasan polos, tanpa nama. Hal ini akan membuat konsumen bingung membedakan produknya,” kata Felosofa.
Dr. Felosofa yang juga pakar K3 ini mengatakan, gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kedua jenis produk ini perlu dibedakan. Namun kemasan polos sebaiknya tidak digunakan pada produk tembakau atau rokok elektronik, untuk melindungi konsumen dan memastikan bahwa mereka dapat memilih sesuai dengan tingkat risikonya.
“Sebaiknya bedakan kemasannya sesuai tingkat risikonya, sehingga diharapkan perilaku perokok berubah menjadi lebih berbahaya. Kalau semua produk tembakau dan kemasan rokok elektrik sama, bagaimana cara membedakannya?” Karena jika dipisahkan akan meningkatkan kesadaran perokok dalam memilih produk,” jelasnya.