TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Penguatan koordinasi dan pemahaman antar seluruh sektor perlu segera dilakukan untuk mengoptimalkan gas bumi di dalam negeri.
Hal ini perlu segera dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan industri pengguna sumber energi tersebut dan sekaligus menopang rantai industri minyak dan gas.
Wakil Presiden Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Ahmed Widjaza mengatakan, hal terpenting bagi industri pengguna gas bumi adalah kepastian pasokan dan harga untuk menjamin kesinambungan dan keberlanjutan produksi.
Ia sadar, menjaga kepastian pasokan gas bumi saat ini sulit dilakukan karena masih banyak faktor yang harus diperbaiki. Salah satunya terkait harga yang tercermin dalam program gas yang lebih murah bagi industri yang disebut harga gas alam tetap (HGBT).
“Kalau HGBT diperlukan bagi industri, tidak ada masalah untuk ditarik. Yang penting kita ingin kepastian pasokan,” kata Ahmed kepada wartawan saat menghadiri Forum Gas Bumi 2024, Jumat (21/6/2024).
Program HGBT yang mematok harga USD 6 per MMBTU, kata Achmad, di satu sisi sangat bermanfaat dan menyenangkan bagi industri konsumen gas bumi.
Namun di sisi lain, di saat yang sama, negara harus memberikan subsidi pada sektor hulu migas sehingga produksinya sangat bergantung pada ketersediaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Selain itu, biaya midstream dan downstream dari kepemilikan dan pengelolaan infrastruktur distribusi gas bumi tidak mendekati nilai keekonomian.
Situasi ini menimbulkan ketidakpastian pasokan yang pada akhirnya merugikan kedua belah pihak.
“Padahal yang terpenting adalah menjamin pasokan gas untuk industri,” tegasnya.
Achmad berharap rencana konkrit segera diputuskan dan untuk mencapai hal tersebut diperlukan koordinasi lintas sektoral dari Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan serta kesepahaman antar pelaku industri migas. Industri esensial dan konsumen gas alam.
Direktur Eksekutif Reformina Institute, Komaidi Notonegoro, pada kesempatan yang sama menekankan bahwa koordinasi lintas sektor sangat penting untuk mencapai keseimbangan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
Hal ini mencakup industri yang menggunakan gas alam yang tidak mendapatkan manfaat dari terciptanya kepastian pasokan dan harga.
“Sejauh ini belum ada pemahaman bahwa komersialisasi gas bumi di Indonesia akan terpengaruh. Meski demikian, kebutuhan gas bumi diperkirakan akan terus meningkat hingga 10 tahun ke depan,” ujarnya.
Terkait program LGBT misalnya, Komaidi menjelaskan Kementerian Perindustrian berupaya melanjutkan kebijakan tersebut dan memperbanyak usaha penerimanya.
Di sisi lain, pada saat yang sama, Kementerian Keuangan menyadari bahwa program tersebut memberikan tekanan yang semakin besar terhadap perekonomian negara.
Senada dengan itu, Kementerian ESDM menyadari pentingnya evaluasi program LGBT agar tidak hanya menguntungkan satu pihak namun juga industri lain yang rantai pasoknya semakin terganggu.
“Nilai keekonomian proyek gas bumi juga penting karena menentukan pasokan gas bumi bagi industri,” kata Komaidi.
Referensi yang paling dekat dengan pentingnya pemahaman lintas sektor dalam pengelolaan dan optimalisasi gas bumi adalah Thailand.
“Pemerintah Thailand menjamin margin yang memadai bagi semua pihak, mulai dari insentif bagi produsen gas bumi hingga badan usaha pengelola infrastruktur bagi pembeli. Pasokannya terjamin,” kata Komaidi.