Laporan reporter Tribunnews.com Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ombudsman menyatakan ada potensi kerugian akibat penurunan produksi minyak sawit di Indonesia. Nilainya Capai Rp 111,6 Triliun, Apa Alasannya?
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika menegaskan, saat ini belum ada koherensi kebijakan antara kebijakan pertanian dan kebijakan lingkungan hidup. Padahal, untuk mencapai optimalisasi produksi kelapa sawit harus diimbangi dengan upaya menjaga kelestarian lingkungan. Potensi kerugian dari tertundanya proses pengaplikasian tanah berasal dari perannya dalam meningkatkan produktivitas tanah dan mengurangi penggunaan pupuk kimia.
Peningkatan produksi secara keseluruhan akibat permohonan lahan masih mengalami perubahan dan masih dalam tahap penyelidikan, kata Yeka, Senin (18/11/2024) di Jakarta.
Potensi ketidaknyamanan pada aspek administrasi terkait perizinan diakibatkan oleh potensi kerugian akibat kegagalan menghasilkan buah segar (TBS) terbaik. “Rata-rata produksi TBS nasional Indonesia saat ini sebesar 12,8 ton per hektar TBS,” jelas salah satunya.
Ia membandingkannya dengan Malaysia yang hasil terbaik yang diraih perusahaan kelapa sawit di Malaysia dengan sertifikat Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) mencapai 95% adalah 19 ton TBS per hektar. Sementara itu, keberlanjutan kelapa sawit Indonesia (ISPO) masih rendah. Jadi Malaysia punya 95%, hampir 100% MSPO-nya, Indonesia hanya 35% (ISPO). Produksi TBS kita per hektar 12,8 ton, produksi TBS per hektar Malaysia 19 ton, tambah Yeka. Oleh karena itu, Ombudsman memandang perlunya optimalisasi kelapa sawit, apalagi pemerintah membutuhkan program biodiesel.
Potensi kerugian akibat rendahnya produktivitas perkebunan kelapa sawit mencakup dua hal, yaitu buruknya produktivitas lahan yang antara lain menyebabkan rendahnya pencapaian Renewable (PSR) kelapa sawit.
Kedua, rendahnya produktivitas perkebunan kelapa sawit mungkin disebabkan oleh praktik pertanian yang tidak memenuhi standar ISPO. Saat ini sertifikasi ISPO baru mencapai 35 persen.
“Jadi meski begitu, potensi kerugiannya karena kita belum mencapai produksi yang kita inginkan, Ombudsman memperkirakan sekitar Rp 111,6 triliun setiap tahunnya,” tambah Yeka.