Wartawan Tribunnews.com, Rahmat W Nugraha melaporkan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pakar hukum tata negara, Biwitri Susanti menyayangkan penerapan aturan izin pengelolaan tambang bagi lembaga keagamaan yang dilakukan Nahdlatul Ulama (NU).
Biwitri mengatakan, sejauh ini Indonesia merupakan negara dengan jumlah konflik pertanian terbanyak.
Diketahui, Presiden Jokowi telah mengalokasikan Wilayah Izin Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada umat beragama.
Kebijakan ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor. 96 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Pertambangan).
“Jadi sangat disayangkan bagi saya NU menerima hal tersebut. Karena hingga saat ini konflik pertanahan paling besar di Indonesia,” kata Biwitri kepada media, Senin (10/6/2024).
Ia prihatin dengan konflik horizontal antarorganisasi keagamaan.
“Jadi saya membayangkan mungkin ada konflik horizontal antara ormas NU dengan ormas lain. Mungkin salah satu (ingin mengambil alih pengelolaan tambang) dengan kelompok masyarakat yang menjaga sumber daya alamnya. .
Bivitri mengapresiasi organisasi keagamaan yang menolak izin pengelolaan pertambangan.
“Jadi saya senang sekali ada organisasi (keagamaan) besar yang menolak keras dan saya sangat menyayangkan NU menerimanya dengan cukup wajar,” tegasnya.
Sebelumnya, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Stakf mengaku pihaknya mengusulkan pengelolaan tambang ke pemerintah.
Permohonan tersebut mengikuti kebijakan baru pemerintah yang memperbolehkan organisasi masyarakat mengelola tambang.
“Jadi sebenarnya kami ajukan setelah pemerintah mengeluarkan perubahan PP Nomor 96 Tahun 2021 yang memperbolehkan ormas keagamaan mendapat izin pertambangan, kami pun mengajukan permohonan.”
“Sekarang masih berproses, misalnya untuk peraturan presiden dan lain-lain, nanti kita lihat,” kata Gus Yahya dalam konferensi pers di kantor PBNU, Jln Kramat Raya, Jakarta, Kamis (6/6/2024). ) .
Diakui Gus Yahya, pengelolaan tambang itu diperlukan PBNU untuk membiayai organisasinya.
Menurut Gus Yahya, intervensi ekonomi diperlukan dalam kondisi masyarakat kelas bawah saat ini.
Agar organisasi dibiayai dari pendapatan pengelolaan tambang.
Sementara itu, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyatakan tidak ingin terburu-buru dengan kebijakan baru pemerintah mengenai izin pertambangan bagi organisasi keagamaan.
Ketua PP Muhammadiyah Kiai Saad Ibrahim mengatakan, pihaknya akan mencermati berbagai kelebihan dan kekurangannya.
Kiai Saad menegaskan, sejauh ini belum ada surat pengakuan atau pemberitahuan resmi dari pemerintah kepada Muhammadiyah terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP).
“Secara khusus suratnya mungkin belum sampai. Tapi dalam konteks yang lebih umum, saya baca itu tentang ormas, jadi kemudian Muhammadiyah masuk dalam ormas itu, tapi kita coba perbaiki dulu. Di atas,” kata Saad.