Laporan Tribunnews.com oleh reporter Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, TEL AVIV – Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengkritik Presiden AS Joe Biden karena sengaja menahan pengiriman bom seberat 2 pon ke militer Israel.
Masalah penundaan pengiriman senjata mengemuka setelah sekretaris pers Gedung Putih Karine Jean-Pierre mengumumkan bahwa negaranya akan menangguhkan pengiriman bom tertentu ke Israel.
Dalam keterangan resminya, Pierre menjelaskan penundaan bom seberat 2.000 pon itu disetujui pemerintahan Biden karena kekhawatiran akan penggunaan bom buatan AS untuk membunuh warga sipil Palestina di Gaza.
“Kami terus meninjau pengiriman bom seberat 2.000 pon yang dibahas Presiden (Joe) Biden karena kekhawatiran kami tentang penggunaannya di wilayah padat penduduk seperti Rafah,” kata Pierre seperti dikutip Al Monitor.
Meski penangguhan tersebut hanya berlaku pada pengiriman senjata jenis bom, namun dampak dari penangguhan ini adalah persahabatan Israel dan Amerika Serikat disebut akan retak.
Hal ini membuat hubungan Tel Aviv dengan Washington tegang, yang sebelumnya tegang setelah Presiden Joe Biden menyebut sekutu dekatnya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, sebagai orang yang terkutuk.
Persoalan tersebut diperkuat dengan munculnya beberapa sumber dekat Biden yang menyebut bahwa Presiden Amerika Serikat secara pribadi menyebut Netanyahu sebagai “orang jahat”. Amerika menjadi pemasok senjata utama Israel
Selama puluhan tahun, Amerika Serikat (AS) dikenal sebagai pendukung utama pendanaan militer Israel dalam setiap perang melawan musuh-musuhnya.
Bukan sekedar membantu pertahanan Israel, Negeri Paman Sam menyumbangkan bantuan militer senilai 3,8 miliar dolar AS atau setara Rp 60,27 triliun setiap tahunnya.
Bahkan ketika ketegangan antara Hamas dan Israel terus berlanjut, Amerika Serikat terus memasok Tel Aviv dengan 21.000 peluru artileri 155 mm, ribuan amunisi penghancur bunker dan 200 drone kamikaze, serta bom presisi Spice Family Gliding Bomb Assemblies dengan nilai 320. juta dolar. atau setara Rp 5 triliun untuk Israel.
Menurut Washington Post, Amerika Serikat telah menyetujui setidaknya 100 perjanjian senjata dengan pendudukan Israel sejak perang Gaza pecah pada 7 Oktober.
Amerika Serikat menilai penjualan peluru antitank ke Israel merupakan bentuk dukungan terhadap kepentingan keamanan Timur Tengah terhadap ancaman Hamas. Namun tindakan tersebut mendapat sorotan negatif dari banyak pihak.
Aktivis hak asasi manusia juga menyuarakan keprihatinan mengenai penjualan tersebut, dengan mengatakan bahwa tindakan Amerika tidak konsisten dengan upaya Washington untuk menekan Israel agar mengurangi korban sipil di Gaza. Faktanya, transfer senjata dapat memperburuk perundingan perdamaian yang sedang berlangsung.